What's new

Indonesia Defence Forum

(Wrong quote, harusnya ane ngequote punya kansel)

Karena jumlah personel AD yang too much banyak banget. Maybe anggarannya gede
?
 
. .
(Wrong quote, harusnya ane ngequote punya kansel)

Karena jumlah personel AD yang too much banyak banget. Maybe anggarannya gede
?
Ini kalo kata temen gw Tirto nya yang salah data, Tirto kalo dah salah cringe bgt
 
. . . .
Well looks like the chance for surprise in November is getting smaller.
No contract for Iver and PLN USD 700 mio isnot going to be used.
Prolly no contract at all until next year.
Not a problem actually, in fact if you rush the contract there will be such problem in the future,looking at what navy wants for our real frigate or should i call it light destroyer? Cause they want LACM fitted into it

Also i heard Rumor that they want to increase the LOA of the ship become 150 meter, at first they want to do this on pkr programme but you know lah masalahnya buat yang ini.
 
. .
INDONESIA
PANTHER UJI KEMAMPUAN RADAR 2D YANG BARU TERPASANG DI KRI MLH-362
24 NOVEMBER 2019 DIANEKO_LC TINGGALKAN KOMENTAR
panther-uji-kemampuan-radar-2d-yang-baru-terpasang-di-kri-mlh-362.jpg

Panther uji kemampuan Radar 2D yang baru terpasang di KRI MLH-362 (TNI AL)

Operasi Peperangan Laut memerlukan sinergitas dari seluruh komponen SSAT (Sistem Senjata Armada Terpadu) berupa KRI, Pesawat Udara, Pangkalan dan Marinir. Salah satu peperangan laut yaitu Peperangan Anti Kapal Permukaan (AKPA), yaitu upaya untuk menghancurkan Kapal Permukaan musuh yang bisa menggunakan aset pesawat udara sebagai Killing Unit.

Pesawat Udara yang diluncurkan dari Kapal kawan maupun dari Pangkalan kawan, berupaya melaksanakan serangan ke Kapal Musuh sebagai Gugus Aksi Helikopter maupun Gugus Aksi Permukaan.

Dalam hal ini kemampuan terbang rendah merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh penerbang TNI Angkatan Laut.

Dilansir dari laman web TNI AL (16/ 11/ 2019), Kali ini helikopter Panther melaksanakan terbang rendah dengan ketinggian kurang dari 100 ft (33 mtr) menghindari sapuan radar (Radar Sweep) untuk menjaga kerahasiaan kedatangan Helikopter dalam peyerangan terhadap Kapal Permukaan musuh. Helikopter Panther AS 565 MBe nomor lambung HS-4211 melaksanakan terbang rendah di Laut Jawa mendekat ke Kapal Permukaan dari Jarak 50 Nm dan sesekali meninggi untuk mengecoh Radar Surveillance milik KRI MLH-362.

Hal ini merupakan simulasi yang dilaksanakan dalam rangka menguji kemampuan Radar 2D yang baru terpasang di KRI MLH-362.

Heli HS-4211 mendekat menuju KRI MLH-362 dengan direksi dari KRI DPN-365. Helikopter lepas landas dari KRI DPN-365 dari jarak sekitar 65 Nm dari KRI MLH-362, sampai dengan akhirnya terdeteksi oleh KRI MLH-362 mulai jarak 35 Nm. Hal menunjukkan bahwa radar 2D yang dimiliki oleh KRI MLH-362 berfungsi dengan baik.

Radar Surveillance yang baru saja dipasang di KRI MLH-362 sedang dalam percobaaan untuk mengetahui bagaimana kemampuan deteksinya yang dapat mencapai jarak deteksi udara lebih dari 125 Nm dan ketinggian lebih dari 4.000 ft.

Uji Fungsi ini membutuhkan peran dari Pesawat Udara yang ada di Jararan Puspenerbal. Kemampuan radar ini tentunya akan berbeda jika pesawat udara mendekat dengan metode terbang rendah ataupun memanfaatkan Blind Sector Area nya.

Besok akan di uji coba kembali dengan menggunakan pesawat udara jenis fixed wing yang dimiliki oleh TNI AL dengan jarak dari 125 Nm.

Demikian adalah gambaran penggunaan pesawat udara dalam Peperangan Anti Kapal Permukaan yang dapat dilaksanakan oleh Pesawat Udara baik Fixed Wing maupun Rotary Wing dalam melaksanakan penyerangan terhadap Kapal permukaan lawan yang radar udaranya tidak ada, ataupun memanfaatkan Blind Zone Area dari radar udara musuh.

Kedatangan dari pesawat udara yang memiliki kecepatan tinggi akan mengejutkan musuh dan membuat kapal permukaan lawan tidak sempat untuk melaksanakan pertahanan maupun serangan balik.

Editor: (D.E.S)


INDONESIA
PESAWAT CN-235 220 MPA UJI IFF KRI MLH-362
24 NOVEMBER 2019 DIANEKO_LC TINGGALKAN KOMENTAR
pesawat-cn-235-220-mpa-uji-iff-kri-mlh-362.jpg

Pesawat CN-235 220 MPA Uji IFF KRI MLH-362 (TNI AL)

Dalam peperangan yang sesungguhnya, Identification Friend or Foe (IFF) sangatlah diperlukan untuk menghindari friendly fire. Salah satu misi yang dilaksanakan Pesud CN-235 kali ini adalah melaksanakan Uji IFF dengan KRI MLH-362.

Dilansir dari laman web TNI AL (16/ 11/ 2019), Uji Fungsi dilaksanakan di Perairan Utara Pulau Madura. Hari Sabtu 15 November 2019 di saat sebagian prajurit melaksanakan Dinas Hari Minggu, satu setting Crew menyiapkan Pesud CN-235 dan terbang dari Lanudal Juanda dengan ketinggian 16.000 feet/ 4800 meter diatas permukaaan laut, di bawah kendali Capt. Pilot Mayor Laut (P) Novi Manunggal yang sehari hari menjabat sebagai Wakil Komandan Skuadron 600 Wing Udara 2.

Untuk pelaksanaan dan keberhasilan uji fungsi IFF ini membutuhkan peran dari Pesud Puspenerbal sekaligus melatih kemampuan awak Pesud maupun Kapal untuk dapat melaksanakan Tugas Pokok.

Keberhasilan awak Pesud dalam menjalankan misinya terletak pada profesionalisme, loyalitas dan keiklasan serta tanggung jawab yang diembannya.

Pelaksanaan uji IFF dilaksanakan selama 3 jam, Pesud CN235-220 MPA Take Off dari Pangkalan Juanda ke Utara Pulau Madura, KRI Malahayati yang sudah berada di Utara Madura terlebih dahulu memancarkan kode IFF kemudian Pancaran kode IFF tersebut diterima oleh Pesud sampai dengan jarak 110 NM.

Diawali dengan jaring Komunikasi/ _Air Joinning Prosedur_ (AJP) yang kemudian Pesud CN beralih kontrol di bawah kendali komunikasi KRI MLH-362.

Selama pelaksanaan uji IFF tidak ditemukan kendala-kendala antara Pesud dan KRI, baik pengawakan komunikasi maupun pengawakan mission system/Sewaco KRI berjalan dengan baik dan lancar.

Editor: (D.E.S)
 
.
D&S 2019: $270 billion to be spent on naval vessels in Asia-Pacific over next decade
21st November 2019 - 05:29 GMT | by Matt Smith in London

RSS
SAVE THIS FOR LATER

New procurement of naval vessels in the Asia Pacific region is proceeding apace, with spending forecast to total nearly $270 billion between 2019 and 2029.

Beijing provides the largest source of vessel procurement requirements globally as it builds up a blue-water navy capable of power projection.

According to Defence Insight analysis, there are 29 ongoing and forecast procurement programmes covering at least 250 vessels as it looks to increase influence abroad. China is forecast to spend $123 billion over the next ten years, investing heavily in its domestic shipbuilding capability.

Beyond China, Taiwan, South Korea and Japan are on the frontline when facing the PLAN.

In Taiwan there are on-going projects for corvettes, minelayers, and a landing platform dock. Looking further into the future Taiwan’s Indigenous Defense Submarine (IDS) programme is underway, but remains a long-term project with a prototype scheduled by 2025. The are also aspirations to acquire a new Guided-Missile Destroyer and new frigate capability.

The Japan Maritime Self-Defense Force (JMSDF) is embarking on the 27DD Maya-class destroyer programme for a pair of ships that will focus on ballistic missile defence. The first pair are expected to enter service in 2020-2021. The JMSDF is also expected to receive eight new 30DX frigates under a programme approved in 2017 to replace the existing Asagiri- and Abukuma-class light destroyers and Soryu-class submarines.

In Korea contracts have recently been awarded for a new 8,100t Aegis guided-missile destroyer and Dosan Ahn Chang-ho (KSS-III) class submarines. There are also plans to explore the construction of a nuclear-powered submarine and a LHD capable of supporting F-35B fighters.

Indonesia’s naval upgrade programme includes taking delivery of new frigates and submarines. Two Martadinata-class (PKR) frigates have been delivered and it is expected that with the retirement of older frigate platforms four more new ships will be ordered. Indonesia’s third and final Nagapasa-class submarines was launched on 11 April this year, and it should reach the navy in 2021.

A second batch of three Type 209/1400 diesel-electric submarines will be built by PT PAL and South Korea’s DSME under a $1.02 billion contract signed in April 2019.

New Delhi is investing significantly in its naval power as a reaction both to China and its own perception of itself as a global power. Key programmes are the creation of a fleet of indigenously developed aircraft carriers, nuclear and conventional submarines, new air defence destroyers and modern frigates. Indian spending on new naval systems is estimated to increase from $3.9 billion to $4.5 billion annually by the end of the 2020s.

Australia is also set to spend a substantial amount on deploying new capabilities, but the key programmes have all been won. Major programmes in Australia include the procurement of nine Type 26 Hunter-class frigates from BAE Systems and ASC Shipbuilding at a cost of around US$26 billion under Project Sea 5000; Sea 1000 consisting of the acquisition of 12 conventional attack submarines from Naval Group for around US$36 billion; and three Sea 4000 Hobart-class destroyers for US$6.9 billion.

In Malaysia, however, a delay to the $2.2 billion Maharaja Lela-class Littoral Combat Ship (LCS) programme means that the ships will be delivered four years late, in 2023.


https://www.shephardmedia.com/news/imps-news/ds-2019-270-billion-be-spent-naval-vessels-asia-pa/

D&S 2019: Asia’s spending on tanks and IFVs grows to $55 billion
20th November 2019 - 04:35 GMT | by Matt Smith in London

RSS
SAVE THIS FOR LATER

Countries in the Asia-Pacific region will spend over $55 billion to procure new heavily armoured main battle tanks and IFVs by the end of the 2020s, according to research by Defence Insight.

The five largest spenders on these types of capability are China, India, Australia, Pakistan and South Korea, whose requirements are for vehicles that can engage with peer-level adversaries.

Perhaps unsurprisingly China is expected to invest the largest amount, an estimated $19.6 billion, as it looks to replace thousands of ageing and outdated vehicles with more modern systems such as ZTZ-99 MBT and ZBD-04A IFV. Despite establishing robust indigenous manufacturing capabilities, some of China’s armoured platforms continue to suffer from quality issues.

India is the second largest market for MBTs and IFVs in the region, forecast to spend $12.5 billion to introduce major new capabilities. Among the key requirements are the Future Infantry Combat Vehicle (FICV) programme, which is aiming to replace over 2000 BMP-2 IFVs; an indigenous amphibious IFV, called the Wheeled Amphibious Armoured Platform (WhAP) being designed and developed by Tata Motors in collaboration with India’s Defence Research & Development Organisation; and the Future Ready Combat Vehicle (FRCV) programme, under which 1,770 vehicles will be acquired to replace the T-72 MBT fleet. There is also the on-going saga of Arjun Mark II and the T-90S Tagil.

Across the border, Pakistan is responding to increased Indian procurement with a number of its own projects and it is fast emerging as one of the leading procurers of military vehicles in the region. Acquisition of 220 Al Khalid 2 tanks is expected to be the leading programme for the Pakistan Army during the next decade alongside investment in 360 T-90 MBTs from Russia.

China has also sought to meet Pakistan’s needs. Norinco’s VT4 was tested in Pakistan in 2017 and according to unofficial reports released in November 2018, Pakistan had selected the VT4 to fulfil a requirement for new MBTs. However, no official statement has been made regarding this potential purchase.

In Australia procurement of 211 Boxer vehicles under Phase 2 of the Land 400 programme is expected to result in spending of over A$3.3 billion (US$2.3 billion). This will be supplemented by another 450 IFVs through Land 400 Phase 3 - Mounted Close Combat Capability. This is one of the largest opportunities in the region, with a decision expected in 2022.

Beyond these countries there are large programmes for indigenously designed MBTs and IFVs in South Korea, Singapore and Indonesia underway. South Korea has a requirement for up to 600 K2 MBTs for the Republic of Korea Army. Deliveries of a first batch of 100 tanks began in 2014 and deliveries of a second batch of 100 will begin in 2019.

Singapore will see ST Engineering's tracked Next-Generation Armoured Fighting Vehicle (NGAFV) enter service in increasing numbers and in Indonesia production of the Kaplan (Tiger) medium tank is scheduled to begin in 2019. A hundred units will be produced to fulfil the Indonesian Army (TNI-AD’s) first-stage requirements and the TNI-AD could eventually require 300 tanks, however the funding and timescale for this is by no means certain.
https://www.shephardmedia.com/news/landwarfareintl/asias-spending-tanks-and-ifvs-grows-55-billion/
 
.
Where did Tirto get this data from? Cause it looked so wrong
https://tirto.id/prabowo-masih-prioritaskan-anggaran-ad-matra-lain-dianaktirikan-elYJ




dibaca normal 5 menit
  1. Home
  2. Politik
Prabowo Masih Prioritaskan Anggaran AD, Matra Lain "Dianaktirikan"

Penulis: Felix Nathaniel
23 November 2019

View non-AMP version at tirto.id

tirto.id - Mayor Penerbang Marlon A. Kawer meninggal dunia beserta 12 orang lain kala pesawat Hercules C-130 milik TNI AU mengalami kecelakaan. Saat itu ia mengemudikannya dari Timika ke Wamena. Hanya setengah jam di udara, pesawat kehilangan kontak. Lalu pesawat menabrak pegunungan dan hancur lebur. Tiga jenazah bahkan tak lagi bisa teridentifikasi.



Pagi yang sial itu terjadi pada akhir Desember 2016. Marlon memimpin penerbangan bersama ko-pilot Kapten Penerbang J. Hotlan F. Saragih dan navigator Letnan Satu Arif Fajar Prayogi. Dia dipercaya memantau tes Hotlan menjadi pilot sambil membawa logistik ke Wamena.



Meski belum mencapai 2.000 jam terbang, setidaknya Marlon sudah mempunyai 1.000 jam terbang lebih. Dia juga merupakan salah satu lulusan terbaik Sekolah Komando Kesatuan TNI Angkatan Udara (Sekkau) tahun 2000.



Penyebab tabrakan itu diperkirakan faktor cuaca yang buruk. TNI AU mengklaim bahwa kondisi pesawat yang dikendalikan Marlon masih layak terbang. Padahal pesawat itu dibuat pada 1980-an. Pesawat nomor A1334 itu masih punya 69 jam terbang sebelum memenuhi jatah 1.000 jam terbang dan masuk bengkel. Sedangkan secara keseluruhan, pesawat itu punya 9.000 jam terbang lagi.



Pesawat Hercules itu seharusnya punya batas jam terbang berkali-kali lipat. Salah satu situs pemerhati militer mencatat Hercules bisa terbang sampai dengan 40 ribu atau 60 ribu jam. Namun Hercules C-130 yang dipiloti Marlon diperkirakan tidak memenuhi kelaikan pada 2013. Saat kecelakaan, berdasar perkiraan situs fas.org, pesawat tersebut lebih baik tak tinggal landas.





PR Prabowo: Memperkuat Matra Laut dan Udara
Dalam hal pemeringkatan, Indonesia punya kekuatan angkatan udara yang tidak buruk-buruk amat: menempati peringkat 23 dari 53 negara dengan armada pesawat sebanyak 273. Namun dari segi kuantitas, jumlah itu terbilang sangat sedikit. Mesir yang berada di peringkat 24 saja punya 1.092 armada tempur. Meski ada yang mencatat Indonesia punya 451 armada, tapi kuantitas itu masih terbilang sedikit.



Sedangkan untuk angkatan laut, Indonesia punya 221 armada dan bertengger di peringkat 10. Hanya saja, jika dibandingkan dengan tiga negara (Amerika, Cina, dan India) yang tengah mengembangkan kekuatan tempur laut, Indonesia kalah telak.



Amerika punya armada udara sebanyak 5.092, Cina 2.500, dan India 1.666. Sementara armada laut Amerika punya 415 kapal tempur, Cina 714, dan India 295. Jika suatu saat Indonesia harus mengamankan wilayah laut dan udaranya dari ketiga negara yang tengah berkontestasi menguasai jalur ekonomi di Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia itu, bisa dipastikan akan kelabakan.



Hanya di AD kekuatan tempur Indonesia cukup masif, yakni memiliki 2.148 alutsista. Padahal Prabowo, dalam kampanye Pilpres 2019, setuju kekurangan alutsista di sektor laut dan udara adalah masalah yang harus diselesaikan.



"Modernisasi kapal, pesawat termasuk radar karena banyak daerah enggak terdeteksi rawan penyelundupan," kata juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, Sabtu (30/3/2019) seperti dikutip Medcom. "Pak Prabowo akan meningkatkan anggaran belanja, terutama pada efektifitasnya belanja alutsista terkait laut dan radar."





Baca juga: Prabowo adalah Bagian dari Elite, Narasi Populismenya Cuma Retorika
Saat ini, sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo juga masih ingin meningkatkan kemampuan alutsista Indonesia yang tertinggal dari negara lain. Dia memastikan ketiga matra akan mendapat penguatan, tapi tidak secara spesifik mana saja yang membutuhkan perhatian khusus.



"Kami akan perkuat TNI," kata Prabowo saat menyambangi Mabes TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (30/10/2019) seperti dilansir Jawa Pos.



Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengaku sudah berkomunikasi dengan Prabowo dan punya visi yang sama. Salah satu konsep postur pertahanan negara yang ideal bagi keduanya adalah mendukung Indonesia menjadi poros maritim dunia dengan revitalisasi minimum essential force (MEF).



“Program tersebut diwujudkan dalam pembangunan sistem integrative vision center yang diperlukan agar perairan Indonesia bebas dari gangguan," jelas Hadi.



Bila menilik lebih jauh, masalah alutsista matra laut dan udara yang lemah tak lepas dari persoalan anggaran. Pada APBN 2020 TNI AD mendapat anggaran Rp55,92 miliar dengan alokasi alutsista sebesar Rp4,5 miliar. TNI AL punya bagian Rp22,08 miliar dan alokasi alutsista Rp4,1 miliar. Sedangkan TNI AU memperoleh dana Rp15,5 miliar dan alokasi alutsista Rp2,1 miliar. Lagi-lagi TNI AU mendapat urutan bontot.



Dibanding postur anggaran 2019, hanya TNI AL yang mendapat jatah belanja dan modernisasi alutsista lebih banyak daripada tahun sebelumnya. Apabila anggaran TNI AU dan TNI AL tidak menjadi prioritas, belum tentu janji-janji dan wacana poros maritim dunia akan terwujud. Karena seperti tahun-tahun yang sudah lewat, alutsista Indonesia masih ketinggalan zaman.

AL dan AU Masih "Dianaktirikan"
Secara pendanaan dan jatah kepemimpinan di TNI, Indonesia memang tidak menaruh perhatian pada matra laut dan udara seperti pada matra darat. Sejak 1962 hingga 1999, kepemimpinan tertinggi di ABRI selalu dijabat perwira dari TNI AD. Baru pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, sejalan dengan agenda reformasi, Panglima TNI diberikan kepada TNI AL. Perwira yang ditunjuk Gus Dur saat itu adalah Laksamana Widodo Adi Sutjipto.



Sebagaimana dikutip dari buku Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden (2007) karya politikus PKB Lalu Misbah Hidayat, Gus Dur membuat gebrakan dengan berani mengambil Panglima TNI untuk pertama kalinya di luar matra darat.



“Pilihan ini didasarkan pada pemikiran untuk memprioritaskan keamanan nasional sesuai dengan fakta bahwa Republik Indonesia terdiri atas ribuan pulau yang dipisahkan oleh laut," tulis Lalu.



Sementara doktor ilmu politik lulusan Universitas Kebangsaan Malaysia, Abdoel Fattah, dalam Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (2005), menulis ada motif lain terkait keputusan Gus Dur itu, yakni memudahkan reformasi TNI. Saat itu dominasi AD memang terlalu kuat. Selain menunjuk Widodo A.S., Gus Dur juga memilih Marsekal Utama Graito Usodo dari TNI AU menjadi Kepala Pusat Penerangan TNI.



Saat itu salah satu perwira AD yang mendukung reformasi TNI dan mendapat julukan ‘jenderal reformis’ adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Tendensi reformis itu pula yang mungkin mendorong SBY, kala menjadi presiden, untuk mengangkat Laksamana Agus Suhartono sebagai Panglima TNI pada 2010.



Joko Widodo juga memberi kesempatan kepada purnawirawan AL untuk berperan dalam pemerintahan. Dia menunjuk Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Menko Polhukam pada 2014. Namun itu tak bertahan lama. Tedjo digantikan Luhut Binsar Panjaitan yang berasal dari matra darat.



Padahal Jokowi punya keinginan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada 2014. Lima tahun kemudian cita-cita tersebut lenyap dari pidatonya dalam acara-acara resmi. Meski pada praktiknya usaha itu mungkin memang sudah punah saat pensiunan AD yang lebih dipercaya membantu pemerintahan Jokowi.



Berbagai kapal asing melintas di perairan Selat Malaka yang seharusnya menjadi wilayah untuk mengeruk keuntungan. Indonesia bahkan tak berhasil memanfaatkan Selat Malaka menjadi perlintasan karena tidak ada pelabuhan besar yang memadai.



Catatan itu belum termasuk dengan banyaknya kapal ilegal yang masuk ke Indonesia. Rektor sekaligus guru besar ekologi-politik Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, mencatat banyaknya kapal nelayan ilegal masuk ke perairan Indonesia tak seluruhnya bisa ditangkal TNI AL. Alasan lama yang selalu dipakai adalah terbatasnya fasilitas.



Dalam Politik Kelautan dan Perikanan (2014), Aria berharap besarnya anggaran hingga puluhan triliun rupiah bagi matra laut seharusnya dapat digunakan membenahi masalah-masalah tersebut.



“Mestinya di wilayah perbatasan, TNI AL harus berperan lebih besar," tulis Aria.



Kekurangan fasilitas ini juga jadi masalah di TNI AU, utamanya dalam hal alutsista. Selain kecelakaan pesawat Hercules C-130 pada 2016 itu, setidaknya ada 12 kecelakaan yang terjadi pada kurun waktu 2004-2015.





Baca juga: Kisah Dua Panglima KNIL yang Tewas dalam Kecelakaan Pesawat




anggaran-pertahanan-indonesia--mild--fuad-01.jpg



Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Chappy Hakim mencatat dalam Saksofon, Kapal Induk, dan “Human Error": Catatan Seorang Marsekal (2010) bahwa pada 2010 pesawat Hercules jenis C-120B juga mengalami kecelakaan di Wamena. Empat ban pesawat copot; satu ban mendarat di sebuah rumah dan melukai satu orang penghuni. Setahun sebelumnya, indikasi buruknya peralatan TNI AU juga sudah terlihat saat ban pesawat Hercules pecah ketika mendarat. Pembenahan alutsista TNI AU ini, menurut Chappy, penting untuk diselesaikan.



“Walaupun tidak menelan korban jiwa, insiden Hercules TNI Angkatan Udara itu sesungguhnya memberi peringatan tentang sebuah persoalan yang amat serius, yaitu ketertinggalan Indonesia dalam hal peralatan militer," tulis Chappy.



Jika AL hanya mendapat sedikit kesempatan menduduki pucuk pimpinan TNI, maka AU lebih nahas lagi. Marsekal Djoko Suyanto dari TNI AU memang pernah menjadi Panglima TNI, itu pun kurang dari dua tahun. Setelah Djoko Suyanto, tak ada lagi perwira-perwira dari angkatan yang harusnya menguasai angkasa Nusantara itu menduduki kursi Panglima TNI hingga 2017.





Baca juga: "Rezim Militer" Jokowi dan Cengkeraman Serdadu atas Presiden Sipil
Djoko Suyanto digantikan Djoko lain dari Angkatan Darat: Djoko Santoso (2007-2010). Setelah itu Laksamana Agus Suhartono dari Angkatan Laut jadi panglima TNI (2010-2013). Lalu disusul Jenderal Moeldoko dari Angkatan Darat (2013-2015).



Bila mengacu pada urutan tak resmi di atas, jabatan Panglima TNI seharusnya dipegang AU pada 2015. Tetapi Jokowi mengangkat Jenderal Gatot Nurmantyo dari AD. Chappy Hakim, seperti dikutip Merdeka, merasakan ketidakadilan ini.



"Puluhan tahun keberadaan AU tidak dihargai sama sekali di negeri ini. Mungkin memang lebih baik dibubarkan saja daripada terjadi degradasi moral anggotanya," kicau sang marsekal melalui akun Twitter-nya pada 2015.



Pada 2017 angin segar akhirnya datang untuk TNI AU. Marsekal Hadi Tjahjanto berhasil menjadi Panglima TNI hingga sekarang. Namun merujuk kembali pada komposisi anggaran, TNI AU masih saja tak mendapat kepercayaan mengelola dana besar. Satu-satunya yang bisa dilakukan Prabowo untuk menambah anggaran TNI AU adalah saat APBN-Perubahan mendatang. Karena bagaimanapun, reformasi TNI masih belum selesai.

Baca juga artikel terkait PERTAHANAN atau tulisan menarik lainnya Felix Nathaniel
(tirto.id - flx/ivn)
Quick calculator crunch of the numbers in the infographic:

Budget increase from 2019 to 2020:
Army: 24%
Navy: 27%
Airforce: 13%

Seems like business as usual. Airforce increase smaller maybe as a snub to TNI Commander who is ex airforce marshal?

Either way, Tirto is just using data and interpreting it too far.
 
.
Its not even a month since Prabowo take the office, the current budget is being drafted by previous MoD and his team, not even a Genius can alternate such a long draft and budget and then presented them before the senators for hearing sessions in less than two weeks time!!!

This Tirto id journos is a noobs in this case by passing such hards facts

i can said he/she is total noobs

On other hands, Prabowo decision to use previous MoD draft budget is a clear indicator of Prabowo level headedness and clear minded to chose effective method to met the timeframe as stated by stipulated law regarding budget for government department
 
.
UNLOADING ASTROS II MK6 YON KOMPOSIT1 GARDAPATI

72756488_459576511335738_5062809225861258385_n-jpg.591345

72688134_548742009261465_5083951770117483082_n-jpg.591344

72627193_179310579876714_8412128432522293814_n-jpg.591342

71884893_1385160464985282_8725115585392802041_n-jpg.591343
 

Attachments

  • 72627193_179310579876714_8412128432522293814_n.jpg
    72627193_179310579876714_8412128432522293814_n.jpg
    88.5 KB · Views: 2,194
  • 71884893_1385160464985282_8725115585392802041_n.jpg
    71884893_1385160464985282_8725115585392802041_n.jpg
    106.5 KB · Views: 2,196
  • 72688134_548742009261465_5083951770117483082_n.jpg
    72688134_548742009261465_5083951770117483082_n.jpg
    100.8 KB · Views: 2,199
  • 72756488_459576511335738_5062809225861258385_n.jpg
    72756488_459576511335738_5062809225861258385_n.jpg
    99.2 KB · Views: 2,203
. . .

Pakistan Defence Latest Posts

Back
Top Bottom