Story from South Korea... a look into Indonesia and Korea's collaboration in KFX/IFX project
- Currently there are 70 Indonesian engineers working in Korea for KFX/IFX and more up to 200 Indonesian engineers are expected to join the project until 2021.
- Indonesian engineers are involved in the whole process from designing to production. Some are assigned as team leader for their respective task.
- Indonesian engineers are expected to return in 2026 to start build IFX at home.
====
ENDRO S EFENDI - Sacheon, Korea Selatan
“Assalamualaikum…,” sapa para pria yang mengenakan jaket bertuliskan KAI itu secara serempak. Mereka menyambut 13 wartawan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang mendapat kesempatan berkunjung ke pabrik pembuatan pesawat milik KAI ini.
Sapaan salam itu sontak seperti tetesan air di tengah padang pasir. Maklum, sudah hampir lima hari sebelumnya, para wartawan harus membiasakan diri mendengarkan sapaan “Anyeonghaseo”. Entah pagi, siang, atau malam, sapaannya selalu sama.
Suasana hangat dan akrab pun sangat terasa, ketika para wartawan bersalaman dengan para insinyur dari PT Dirgantara Indonesia (DI) yang kini sedang ‘mondok’ di KAI.
Gatot Mulia Pribadi, kepala insinyur PT DI yang didaulat mewakili para tenaga ahli pesawat dari Indonesia ini menyampaikan, kerja sama dengan KAI sudah dilakukan sejak 2011 – 2012 dimulai dengan pengembangan teknologi.
“Kemudian sekarang dilanjutkan dengan pengembangan rekayasa dan produksi,” ujarnya. Bahkan nantinya akan dibuat sistem pelatihan, termasuk melatih pilot dan perawatan pesawat. Targetnya, akan dibuat enam prototipe pesawat yang akan dites, dievaluasi dan disertifikasi internasional.
“Kami beruntung, karena benar-benar terlibat di semua area pembuatan pesawat,” ucapnya.
Saat ini, sudah 70 insinyur PT DI berada di KAI. Hingga akhir 2016 diharapkan ada 90 insinyur yang dikirim ke KAI, dan hingga 2021 ditargetkan terus bertambah menjadi 200 orang.
“Setelah 10 tahun nanti diharapkan bisa alih teknologi dan akan dapat satu prototipe. Nantinya sampai 2026, para insinyur partisipan ini akan pulang ke Indonesia dan akan mengembangkan pesawat tempur sendiri,” bebernya.
Para insinyur Indonesia yang terlibat dalam proyek ini bervariasi, dari mulai usia di bawah 30 tahun, hingga yang senior, termasuk ada 8 wanita yang turut serta. Mereka umumnya lulusan S2 bahkan S3 teknik dari luar negeri.
Berhubung penempatan para insinyur di negara ini cukup lama, maka beberapa insinyur sengaja memboyong keluarganya ke Korea Selatan.
Dijelaskan Gatot, kerja sama Indonesia dan Korea Selatan ini adalah untuk menggarap pembuatan pesawat tempur canggih bertajuk Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX), yang digadang-gadang mampu menjawab keperluan pertahanan udara pada dua dasawarsa mendatang.
Semula, dari sisi Korea Selatan, Turki juga diajak bergabung untuk membangun pesawat tempur bermesin dua yang diklaim bisa menandingi F-35 atau malah F-22 Raptor. Namun kemudian, Turki meninggalkan Korea Selatan, sehingga kini Indonesia yang menjadi partner negeri ginseng tersebut.
Pesawat jet tempur KFX ini sebenarnya proyek Republic of Korea Air Force (ROKAF). Proyek ini dimotori Presiden Korea Kim Dae Jung, Maret 2001 yang diharapkan menggantikan pesawat F-4D/E Phantom II dan F-5E/F Tiger. Jika dibandingkan F-16, KFX diproyeksi memiliki radius serang lebih tinggi 50 persen, sistim avionic lebih baik serta kemampuan anti radar (stealth).
Dalam kerja sama ini, Pemerintah Korea menanggung 60 persen biaya pengembangan pesawat. Sisanya KAI menanggung 20 persen dan kemudian pemerintah Indonesia berkontribusi 20 persen. Dari kontribusi ini, Indonesia akan mendapatkan 50 pesawat yang mempunyai kemampuan tempur melebih F-16, sementara 150 pesawat untuk Korea Selatan.
Konon, total biaya pengembangan selama 10 tahun untuk membuat prototype pesawat itu diperkirakan menghabiskan dana USD 6 miliar. Pemerintah Indonesia menyiapkan dana tak kurang USD 1,2 miliar.
Penandatanganan kerja sama dua negara ini sudah dilakukan 15 Juli 2010 dan diharapkan Indonesia kelak bisa mengembangkan pesawat tempur dari proses alih teknologi ini.
Teknologi yang digunakan dalam pesawat jet tempur IFX dan KFX mirip dengan pesawat siluman F-22 buatan Amerika Serikat. Artinya, secara struktur, pesawat buatan Dirgantara Indonesia ini memiliki teknologi stealth atau teknologi siluman seperti dimiliki pesawat generasi 5. Setidaknya, hingga proyek ini selesai, Indonesia akan memiliki 50 pesawat IFX. Selanjutnya mulai 2026 bisa memproduksi IFX sendiri.
Lalu mengapa PT DI sampai kerja sama dengan KAI? “Selama ini Indonesia hanya pengalaman untuk membuat pesawat komersial, sama sekali tidak ada pengalaman membuat untuk pesawat tempur dengan kecepatan sampai 600 km per jam,” beber Gatot Mulia Pribadi, kepala insinyur PT DI kepada rombongan PWI yang berkesempatan mengunjunginya di Korea Aerospace Industries (KAI).
Kelak ditargetkan, Indonesia bisa membuat satu pesawat tempur setiap satu bulan. Kerja sama membuat pesawat tempur dengan negara lain, menurutnya adalah kesempatan langka.
“Di Amerika, yang bisa bekerja di industri pesawat hanya warga negara mereka sendiri, tidak boleh ada warga asing,” tuturnya. Sementara Korea Selatan memberikan akses yang sangat terbuka dan luas melalui kerja sama pembuatan pesawat tempur ini.
Untuk urusan pesawat komersial, menurut dia, Indonesia tidak perlu diragukan. Bahkan nama BJ Habibie menjadi jaminan, termasuk sangat dikenal di dalam industri penerbangan di Korea Selatan.
Indonesia merupakan pembeli pesawat terbanyak buatan Korea Selatan. Sejak 2010, total sudah 131 pesawat diproduksi KAI. Dari jumlah ini, 16 pesawat di antaranya sudah dikirimkan ke Indonesia untuk jenis T 50 Golden Eagle. Saat pengiriman ke Indonesia, yakni ke Pangkalan Udara Marsma Iswahdyudi, pesawat tempur itu sempat singgah ke Bandara Sepinggan Balikpapan untuk mengisi bahan bakar.
Lantas, dari mana Korea Selatan memiliki teknologi membuat pesawat tempur? Menurut Director & Head KFX Cooperation Departement KAI, JL Jo, ini berawal dari pihak industri pesawat tempur Amerika Serikat, Lockheed Martin yang mempercayakan kerja sama pembuatan pesawat tempur F 16 dengan Korea Selatan. Sejak 1992, ada 140 pesawat F 16 yang dibuat negara ini. Sebenarnya tidak hanya Korea Selatan yang dipercaya, namun juga Jepang dan Taiwan. “Tapi sampai sekarang, hanya kami yang meneruskan pembuatan pesawat. Jepang dan Taiwan tidak meneruskan,” tuturnya.
Dikatakan, KAI sangat fokus membuat pesawat tempur karena menyesuaikan kondisi negara yang kecil. “Kalau Indonesia memang cocok mengembangkan pesawat penumpang,” kata JL Jo.
Tak hanya pesawat, Korea Selatan juga berharap Indonesia membeli helikopter produksinya yang diberi nama Surion, yang diklaim sangat tangguh untuk patroli udara, termasuk untuk medis. Helikopter dua awak itu bisa mengangkut 18 penumpang sipil atau 9 tentara dengan peralatan lengkap.
Perusahaan ini juga menawarkan jika Indonesia memerlukan peluncuran satelit, bisa dilakukan di negaranya dan diklaim bisa menghemat anggaran hingga 20 persen.
Terkait pengembangan KFX/IFX, JL Jo mengakui, kualitas insinyur dari PT DI yang dikirimkan ke KAI sangat mumpuni. “Mereka memang orang-orang terbaik. Bahkan mereka jadi leader di tim kami,” sebutnya.
Ia berharap, nantinya pesawat tempur hasil kerja sama dengan Korea Selatan itu bisa memperkaya tentara Indonesia. “Kekuatan tentara itu sangat penting untuk menunjukkan kekuatan sebuah negara. Indonesia selama ini kuat, salah satunya dari tentara yang hebat,” ulasnya.
Dalam kunjungan itu, Kaltim Post mendapat kesempatan melihat dari dekat proses pembuatan pesawat tempur dan helikopter Surion. Sayangnya area ini sangat ketat hingga tidak diperbolehkan mengambil gambar. Terlihat, beberapa pesawat tempur yang sedang dibuat untuk pesanan Iran dan Filipina. Itu terlihat dari logo bendera yang terpasang di ekor pesawat. Untungnya ketika berada di luar pabrik, pihak perusahaan memperbolehkan para wartawan foto dengan salah satu pesawat yang sudah siap terbang.
Di seberang lokasi pabrik ini, terlihat landasan pacu. Sesekali ada dua bahkan tiga pesawat bermanuver di atas udara.
Uniknya landasan pacu itu dipisahkan oleh jalan raya. Sehingga sesekali pihak perusahaan harus menyalakan lampu lalu lintas, untuk menyeberangkan pesawat dari pabrik menuju landasan pacu.
“Kadang-kadang ini jadi hiburan tersendiri, pengguna jalan raya berhenti hanya karena ada pesawat lewat,” ujar JL Jo sembari tersenyum lebar.
KAI hingga kini juga dipercaya membuat bagian rangka sayap pesawat Airbus 350. Kaltim Post sempat diajak berkunjung ke lokasi pabrik pembuatan rangka sayap pesawat yang hampir 99 persen dilakukan oleh mesin itu. Terlihat, bahan rangka sayap yang terbuat dari bahan alumunium dipadu dengan lithium itu diolah dengan cermat dan teliti oleh mesin. Bahan bongkahan yang awalnya memiliki berat 3 ton itu, akhirnya menghasilkan rangka sayap dengan berat hanya 80 kilogram saja.
Pabrik tersebut beroperasi 24 jam. Sama dengan waktu yang diperlukan untuk membuat satu rangka sayap pesawat yakni 24 jam. Tak hanya Airbus, Boeing juga mempercayakan pembuatan rangka sayap pesawat buatannya, ke KAI. Terhitung sejak 2010 perusahaan ini mendapat kepercayaan dari perusahaan pesawat Eropa tersebut. (*/udi)
http://berau.prokal.co/read/news/46395-bareng-pt-di-korea-kembangkan-pesawat-tempur-terbaru.html
http://berau.prokal.co/read/news/46408-kelak-tiap-bulan-indonesia-bisa-buat-satu-pesawat-tempur.html
.