Indonesia To Acquire One-Third Of Navy Of Former East Germany
5 Februari 1993
Indonesia will buy nearly a third of the former East German Navy, in a move that will improve its defenses but not disturb the military balance in the region.
A spokesman for the Indonesian armed forces in Jakarta said Thursday that his country would acquire 39 East German frigates, landing ships and minesweepers from Germany as well as three new submarines that Germany is building on order.
16 ex-Parchim class antisubmarine corvette (photo : Kaskus Militer)
The vessels will improve Indonesian security in the face of a buildup of Chinese forces in the South China Sea. For Bonn, the sale is a way of getting rid of surplus arms while cementing good relations and securing business contracts with the fourth-most-populous nation.
The transaction is the latest purchase - either concluded or contemplated - by Asian countries seeking cut-rate arms now in plentiful supply from countries of the former Soviet bloc.
14 ex-Condor class landing ship tank ship (photo : Kaskus Militer)
Reports of the transaction prompted immediate criticism in Germany from the Social Democratic Party, the main opposition group. Norbert Gansel, party spokesman on security affairs, attacked what he called Chancellor Helmut Kohl's "profligate weapons policy" and said that Indonesia should not get any military encouragement because of its East Timor policy.
9 ex-Frosch class minesweeper ship (photo : Militer Kaskus)
Indonesia invaded East Timor, a Portuguese colony, in 1975 and annexed it the following year. The United Nations has not recognized the takeover of the territory, which is under tight military control.
Western diplomats said the sale also touches on controversy because it raises questions about German arms export laws, which forbid delivery of weapons outside the North Atlantic Treaty Organization if the purchasing country is in a "region of tension."
Only last week, the Federal Security Council, a panel of senior ministers headed by Mr. Kohl, blocked Taiwan from buying 20 German submarines and frigates valued at $7.5 billion because of tension between the island and China.
Government sources in Bonn said that the council approved the sale to Indonesia because it is a member of the pro-Western Association of South East Asian Nations, which enjoys similar status to NATO under Germany's arms control laws, Agence France-Presse reported.
The sale price was not disclosed,but Andrew Mack, professor of international relations at the Australian National University in Canberra, said he was sure that Indonesia was acquiring the East German ships at "absolute bargain prices."
He added, "They will get a relatively large navy for a relatively small number of dollars."
Bonn inherited an arsenal of Soviet-bloc ships, aircraft, guns and munitions when East Germany was united with the West in October 1990. Similarly, the collapse of communism in the Soviet Union and Eastern Europe created an enormous pool of surplus weapons.
A number of countries in Asia, including China, India and Malaysia, are looking to Russia as a major supplier of low-cost arms. South Korea, the Philippines, Taiwan and Indonesia also have shown some interest in Russian weapons. Pakistan is negotiating the purchase of 320 T-72 tanks from Poland.
Desmond Ball, an analyst at the Strategic and Defense Studies Center at the Australian National University in Canberra, said that whereas Cold War politics and alliance relationships once meant that the United States was the major arms supplier to the nonsocialist states, "cost is now a more critical variable than politics" for a number of countries in Asia.
Malaysia is reported to be close to a decision to buy 24 to 30 MiG-29 fighter aircraft and 6 Hind helicopter gunships from Russia in a deal valued at more than $500 million.
In an attempt to dissuade the Malaysians, teams from McDonnell Douglas Corp. and General Dynamics Corp. were in Kuala Lumpur on Thursday for talks with Defense Minister Najib Razak. McDonnell Douglas is trying to sell its F/A-18 multirole fighters, while General Dynamics was promoting its F-16 fighters.
The Malaysian defense minister said recently that Russia had offered to supply its most sophisticated aircraft, engines, avionics and missiles at substantially cheaper prices than those of their Western counterparts.
Derek da Cunha, a fellow at the Institute of Southeast Asian Studies in Singapore, said that some of these weapons were "very good value" and could fulfill the military roles required by Asian nations. He said that Asian interest in former Soviet bloc weapons was forcing Western arms suppliers to become more competitive.
Asia is one of the few growth areas in the world for military exports.
Sumber :
IHT
Lewat Imbal Beli TNI AU Ingin 48 Pesawat Sukhoi
23 April 2003
Sukhoi Su-27 dan Su-30 Flanker (photo : AusAirPower)
Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto mengungkapkan keinginan TNI AU memiliki 48 pesawat tempur Sukhoi, guna menjaga keamanan dan kedaulatan Tanah Air.
"Idealnya, kita memiliki 4 skuadron, atau 48 pesawat Sukhoi. Diharapkan jumlah itu bisa dicapai dalam kurun waktu empat sampai lima tahun mendatang," katanya kepada pers di Moskow, Selasa malam waktu setempat atau Rabu dinihari WIB.
Ia mengatakan, TNI AU telah memutuskan untuk membeli dua Sukhoi 27 dan dua Sukhoi 30, serta dua helikopter serang M1-35. Nilai kontrak pembelian peralatan itu mencapai 197 juta dolar AS. Dari jumlah itu, 12,5 persen di antaranya harus dibayar tunai. Sisanya akan dibayar melalui progam imbal beli.
Bank Bukopin telah ditunjuk untuk menyiapkan dana 21 juta dolar AS sebagai dana talangan bagi pembayaran 12,5 persen dai nilai kontrak itu. Ia mengatakan, keempaat pesawat Sukhoi itu pada dasarnya tidak mempunyai arti apa-apa dalam sistem pertahanan udara milik TNI AU.
Ketika ditanya wartawan tentang kekhawatiran akan munculnya sikap negatif dari negara-negara Barat, terutama AS akibat pembelian Sukhoi itu, ia menyebutkan bisa memahami perasaan itu.
"Saya bisa memahami tentang munculnya kekhawatiran terhadap sikap negatif negara-negara Barat," katanya, didampingi Menperindag Rini Soewandi.
Namun ia menambahkan, karena keterbatasan anggaran, di tengah kebutuhan mendesak terhadap pesawat itu, pembelian Sukhoi dan M1-35 melalui program imbal beli dari Rusia tidak bisa dielakkan.
Sementara itu, Pangkoops II TNI AU Marsda Teddy Sumarno yang mendampingi Panglima TNI dalam kesempatan itu mengatakan, pesawat itu diharapkan sudah tiba di Tanah Air, September 2003.
Pesawat itu diharapkan sudah bisa ditampilkan kepada masyarakat pada perayaan HUT TNI 5 Oktober mendatang.
Teddy mengatakan sekitar Juni, sejumlah pilot dan tenaga teknis akan dikirim ke Rusia untuk mempelajari operasional Sukhoi dan M1-35 itu.
Ia menyebutkan pesawat Sukhoi generasi ke lima itu mempunyai kemampuan sangat andal, mampu membawa beban peluru kendali seberat 8 ton.
Tahun 2002
Sementara itu, menurut Menperindag Rini Soewandi, pembelian Sukhoi dan helikopter sudah dipersiapkan sejak September 2002, saat ia mengunjungi Moskow. Indonesia telah menawarkan 31 komoditi bagi program imbal beli itu.
Rusia sampai sekarang telah menyetujui untuk membeli 11 komoditi, seperti karet, minyak sawit, teh, kopi, coklat, tekstil, serta bauksit.
Rini mengatakan, perjanjian jual beli itu seharusnya ditandatangani Selasa malam waktu Rusia, namun karena naskah kontrak itu harus diperiksa lagi oleh para ahli hukum, maka baru bisa ditandatangani Rabu.
Pemerintah telah menunjuk Bulog untuk mewakili Indonesia dalam penandatanganan kontrak itu karena Rusia akan diwakili oleh sebuah BUMN- nya.
Bank Bukopin ditunjuk sebagai penyedia dana talangan, karena bank itu sudah keluar dari program rekapitalisasi.
Ia mengatakan, program imbal beli itu dilanjutkan Indonesia, karena neraca perdagangannya dengan Rusia baru mencapai 200 juta dolar AS per tahun, padahal potensinya jauh lebih besar dari itu.
Sebelum membeli Sukhoi dan M1-35, Mabes TNI telah membeli empat helikopter M1-17 untuk TNI AD yang mampu mengangkut 30 prajurit, belasan M1-2 untuk TNI AL, serta sejumlah panser amfibi untuk Korps Marinir. [Tma, Ant]
(
Gatra)
PT PAL Selesaikan Kontrak dengan Dephan
7 April 2003
KRI Layang (805) salah satu dari kapal FPB-57 Nav V (photo : Kaskus Militer)
PT PAL Indonesia telah menyelesaikan kapal patroli cepat FPB 57 Nav V KRI Lemadang (806) pesanan Departemen Pertahanan (Dephan). Kapal yang akan digunakan untuk memperkuat jajaran TNI AL tersebut akan diserahkan kepada Dephan hari Senin (7/4) ini.
Direktur Utama (Dirut) PT PAL Adwin H Suryohadiprojo, pekan lalu menjelaskan, dengan selesainya KRI Lemadang tersebut, maka seluruh kontrak kapal sejenis yang dipesan TNI AL telah dikerjakan oleh PT PAL. Dalam kontrak yang dibuat sejak tahun 1994, TNI AL total memesan 12 kapal FPB 57, dan empat di antaranya dibuat dengan versi Nav V.
Sebelum KRI Lemadang, PT PAL Indonesia telah menyerahkan KRI Todak, KRI HIU, dan KRI Layang. Keempatnya merupakan kapal patroli cepat (Fast Patrol Boat/FPB) Nav V yang memiliki kecepatan 29 knot.
KRI Lemadang yang memiliki jarak tempuh maksimum 5.600 mil nautikal ini berukuran panjang 58,10 meter, lebar 7,62 meter, dan tinggi geladak 4,7 meter. "Adapun persenjataan yang terintegrasi dalam kapal antara lain meriam Bofors 57 milimeter (mm) dan 40 mm, serta radar penjelajah dan sensor optronik," kata Adwin.
Sejak awal pemesanan, banyak kendala yang dihadapi dalam proses pembuatan kapal untuk TNI AL. Hambatan itu antara lain dikenakannya embargo terhadap PT PAL dan pembayaran dari pemesan yang tak kunjung lunas.
"Lepas dari segala permasalahan itu, kami baru dapat mulai membangun kapal sesuai kontrak itu secara efektif sejak 20 bulan lalu. Sebenarnya sampai saat ini juga masih banyak ganjalan sih, tetapi kami komit untuk menuntaskan kontrak dengan Dephan, khususnya TNI AL ini," ujar Adwin.
Kapal FPB 57 Nav V, jelas Adwin, memiliki keunggulan dibanding pendahulunya, yakni FPb 57 Nav I-IV. Kapal versi Nav V dilengkapi sistem kendali persenjataan (fire control system), dirancang mampu menyusup ke daerah lawan secara diam-diam dengan radar yang diproduksi khusus, dan memiliki kecepatan lebih tinggi karena konstruksi bangunan atas dibuat lebih ringan.
Menurut Adwin, di bidang kapal perang, PT PAL telah mengimplementasikan penguasaan teknologi rancang bangun dan produksi dalam bentuk pembuatan kapal patroli cepat. Selain menggarap FPB 57 untuk TNI AL, PT PAL juga telah membangun kapal FPB 28 untuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai serta Polri.
Sementara di bidang kapal komersial, pengembangan teknologi perkapalan telah dilakukan dengan membangun kapal tanker dengan bobot mati 17.500 ton, kapal kontainer dengan kapasitas 1.600 dan 400 TEUs (twenty feet equivalen units), dan berbagai jenis kapal penumpang.
"Kami juga sudah melakukan ekspansi ke pasar ekspor dengan membuat kapal dry cargo vessel berbobot mati 18.500 ton," tambah Adwin. (RMA)
(
Kompas)
TNI AL Beli 4 Korvet Belanda Sepakati Harga Rp 5,78 Triliun
2 Desember 2003
Korvet kelas Sigma - TNI-AL akan membeli kapal jenis ini sebanyak 4 buah (photo : Renk)
Rencana TNI AL membeli kapal korvet Belanda segera terwujud. TNI AL, kini tinggal meneken perjanjian transaksi pembelian, setelah negosiasi harga korvet memasuki tahap akhir.
Menurut KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh, TNI AL dan Belanda sepakat, harga empat korvet itu, senilai USD 680 juta (sekitar Rp 5,78 triliun).
Satu kapal korvet lengkap dengan peluru kendali, masing-masing seharga USD 170 juta (sekitar Rp 1,44 triliun). ''Harga sudah disepakati dan tinggal membuah kontrak. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan,'' kata KSAL Laksamana Bernard Kent usai acara serah terima jabatan Pangarmabar (Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat) dari Laksda Mualimin Santoso kepada Laksma Y. Didi Heru Purnomo di Markas Komando Armabar di Jalan Gunung Sahari, Jakarta, kemarin.
Bernard mengungkapkan, TNI AL memesan empat buah kapal jenis korvet. Dari keempat korvet itu, dua buah dibuat di Belanda dan dua buah lagi di PT PAL Surabaya. Pembayaranya, akan dilakukan melalui tiga tahap selama tiga tahun. Pada tahap pertama, Indonesia harus membayar USD 50 juta. "Anggaranya telah kita minta ke pemerintah, dan dananya sudah turun,'' ujarnya.
Lantas kapan korvet-korvet tersebut akan didatangkan ke Indonesia? Menurut mantan Pangarmatim itu, kapal korvet tersebut, paling cepat akan datang pada akhir 2005. Sebab, pembuatan sebuah kapal, paling tidak memerlukan waktu selama delapan belas bulan. ''Ya paling cepat, akhir 2005,'' ujarnya.
Mengenai protes parlemen Belanda atas pembelian empat korvet itu, Bernard minta agar mereka tak melakukanya lagi. Sebaliknya, jika mereka khawatir terhadap penggunaan korvet tersebut, sebaiknya mereka tak melakukan penawaran penjualan. "Kalau takut, nggak usah dijual. Suruh simpan di dapurnya dia. Itu kalau takut jual,'' tandasnya kesal.
Diketahui, usai tercapainya kesepakatan penjualan korvet Belanda ke Indonesia itu, langsung memunculkan reaksi keras dari parlemen negeri Bunga Tulip itu. Mereka khawatir, korvet-korvet yang dibeli TNI AL itu, akan dipergunakan untuk operasi militer di Nanggroe Aceh Darussalama (NAD)
Terang saja, protes parlemen Belanda itu tak bisa diterima Indonesia. Bernard mengingatkan, agar Belanda tak ikut campur lagi atas barang yang telah mereka jual. Mereka tak selayaknya ikut mengatur penggunaan korvet oleh suatu negara yang berdaulat. "Itu kan uangnya saya. Bukan neneknya dia,'' tandas perwira tinggi kelahiran Sulawesi Utara itu.
Sementara itu, mengenai rencana penggabungan Koarmabar dengan Koarmatim, tampaknya belum bisa dilakukan pada Hari Samudera 5 Desember 2003. Menurut Bernard, rencana penggabungan itu, masih memerlukan koordinasi dengan Departemen Pertahanan (Dephan). ''Masalah ini, masih perlu dikordinasikan dengan departemen pertahanan,'' kilahnya.
Sekadar diketahui, TNI AL semula berencana menggabungkan Koarmabar dan Koarmatim pada Hari Samudera 5 Desember 2003. Penggabungan itu, bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas operasional TNI AL dalam melakukan tugasnya menjaga kedaulatan wilayah perairan Indonesia.
Menurut Bernard, sebenarnya TNI AL telah siap melakukan penggabungan kedua armada tersebut. Panglima TNI pun, memiliki kewenangan untuk membentuk komando-komando TNI. Hanya saja, masih terganjal prosedur mekanisme pembentukannya. "Karena harus menyampaikan rencana strategis, maka Dephan perlu diajak bicara,'' tandasnya.
Ditambahkan dia, penggabungan Koarmabar dengan Koarmatim tak bisa diputuskan Mabes TNI sendiri. Bagaimanapun juga, harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Dephan. ''Mudah-mudahan, kami berharap, tahun depan segera terealisasi,'' ujarnya.
Kapan koordinasi dengan Dephan akan dilakukan? Bernard masih belum bisa memastikan. ''Kami masih menunggu kedatangan Menhan,''tandasnya.
Kirim Tim
Tergulingnya panser TNI yang menyebabkan kematian kamerawan Indosiar Ari Wailan Orah (Awo) masih menyisakan teka-teki. Pusat Polisi Militer (Puspom) masih akan menyelidiki penyebab tergulingnya panser itu, secara lebih mendalam lagi. ''Kami akan memberangkan tim untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan tim investigasi Kodam Iskandar Muda, minggu ini,'' kata Danpuspom Mayjen Sulaiman AB usai mengikuti upacara serah terima panglima komando Armabar di Markas Koarmabar TNI AL kemarin.
Tim Puspom yang akan diberangkatkan ke Aceh itu,menurut Sulaiman, untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya kesalahan manusia (human error) dalam peristiwa tersebut. Tim tersebut, akan memastikan apakah kecelakaan panser yang masuk ke jurang itu, benar-benar karena rem blong atau as roda patah. Artinya, memang bukan diakibatkan kesalahan manusia. ''Kalau bukan human error, berarti bukan kesalahan prajurit,'' ujarnya.
Sulaiman sendiri memastikan, kemungkinan terjadinya human error dalam peristiwa tersebut, sangat kecil. Dari hasil pengecekan dan pemeriksaan di tempat kejadian perkara serta pemeriksaan saksi-saksi, tak ada indikasi yang mengarah kepada human error. Selain itu, panser buatan tahun 1995 tersebut telah menjalani pemeriksaan laik jalan, sebelum diberangkatkan. ''Makanya, kemungkinan human error kecil sekali,'' tandasnya.
Tim Puspom itu akan bekerja berapa lama? Sulaiman mengaku tak bisa memberikan batasan waktu tertentu. ''Kami hanya berharap, bisa mendapatkan hasil secepatnya,'' tandasnya.(nur)
(
Radar Sulteng)