Yeah... non alignment movement, remember bro?
Uncle Ho called Soekarno as big bro
Dari Ho Chi Minh hingga Kennedy
Sukarno bersahabat dengan banyak pemimpin negara, baik negara-negara yang baru merdeka maupun negara besar seperti Amerika Serikat.
Oleh
Nur Janti
Ho Chi Minh dan Soekarno
MEGAWATI Sukarnoputri heran. Suatu hari, ayahnya meminta dia dan kakaknya, Guntur, berpakaian rapi dan bersepatu untuk menyambut seorang tamu agung istana. Namun, sang tamu yang dipanggil dengan sapaan
Bak (Paman) Ho justru datang hanya mengenakan sandal. Mega langsung bertanya kepada ayahnya.
“Kenapa
Bak Ho pakai sandal?” tanya Mega.
“Jangan keras-keras ngomongnya!” jawab sang ayah, Presiden Sukarno, sambil membungkuk dan berbisik ke anaknya.
“Apa
nggak punya sepatu ya?”
“Ya, nanti diterangkan.”
“Bapak belikan sepatu dong!”
Sukarno langsung menceritakan kebingungan putrinya itu kepada sang tamu Ho Chi Minh, bapak pejuang kemerdekaan Vietnam. Alih-alih marah,
Bak Ho langsung mendatangi Mega dan memeluknya sambil tersenyum.
“Nanti kalau Vietnam sudah menang kamu kirim sepatu buat saya,” kata
Bak Ho sebagaimana ditirukan Mega dalam sambutannya di acara peluncuran buku
Seri Historia di Museum Nasional, Jakarta, Kamis, 30 November 2017.
Sepenggal kenangan itulah yang Mega ingat tentang sahabat ayahnya dari Vietnam. Selain cinta anak-anak, Mega mengenang sosok Ho Chi Minh sebagai seorang penyabar yang sangat idealis. “Beliau tidak menikah. Dalam sumpah perjuangannya, tidak akan menikah sampai Vietnam menang,” kata Mega.
Kesamaan pandangan tentang kemerdekaan bangsa itulah yang membuat relasi Sukarno dan Ho Chi Minh menjadi karib.
Menurut sejarawan Yosef Djakababa, ada banyak kesamaan pandangan antara kedua
founding fathers yang sama-sama berhasil mengalahkan kolonialis di negara masing-masing itu.
“Keduanya mendedikasikan diri untuk memerdekakan bangsa. Itu karena pengalaman mereka sendiri melihat perlakuan penjajah kepada penduduknya untuk negara metropol kolonial. Ada ketimpangan antara negara jajahan dan metropol,” kata Yosef.
Ho dan Sukarno, sambung Yosef, juga datang dari kalangan terdidik. Mereka bersentuhan dengan ide-ide besar di zamannnya seperti kolonialisme, komunisme, dan kapitalisme.
Bukan hanya Ho, Daniel Dhakidae menjelaskan, Sukarno juga bersahabat dengan beberapa pemimpin dunia waktu itu seperti Gamal Abdul Naseer, negarawan Mesir; Norodom Sihanouk, raja Kamboja; dan Jenderal Aung San, pejuang nasionalis Burma sekaligus ayah Aung San Suu Kyi.
Hubungan itu bukan tanpa sebab, kata Daniel. Tahun 1960-an adalah masa yang menentukan nasib negara-negara yang baru merdeka. Itu membuat ikatan antarpemimpin bangsa menjadi sangat kuat untuk memerdekakan negara-negara di Asia dan Afrika. Para pemimpin negara terjajah ini berkumpul dalam satu zaman penuh kolonialisme.
“Bagi Sukarno, kolonialisme bukan hanya Belanda menjajah Indonesia, tapi menjadi permasalahan kolonialisme tiga benua. Dia bisa meng-universal-kan permasalahan kolonialisme menjadi masalah tiga benua. Sukarno menginspirasi para pemimpin nagara-negara terjajah,” ujarnya.
Tapi bukan hanya pemimpin negara berkembang yang bersahabat dengan Sukarno, dia juga menjalin hubungan baik dengan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy.
Dalam ingatan Mega, ketika berkunjung ke White House bersama ayahnya dia terkesan dengan Kennedy yang hangat dan tampan. Dalam kunjungan itu, Mega dibawa berkeliling White House sementara ayahnya masuk ke kamar pribadi Kennedy untuk berdiskusi.
“Ayah berharap karena rasanya Kennedy bisa mengerti apa saja hal-hal yang diinginkan negara-negara baru merdeka dan berkembang,” ujar Mega.
Sebagai penghormatan, Sukarno mengundang Kennedy ke Indonesia dan membuatkan sebuah wisma di belakang istana untuk tempat tinggal Kennedy selama di Jakarta. Namun, wisma itu tak pernah terpakai karena Kennedy keburu tewas sebelum bisa menginjakkan kakinya ke Jakarta.
“Ayah saya sedih sekali karena sudah berharap suatu saat beliau (Kennedy) akan datang ke Indonesia,” kata Mega.
Persahabatan Sukarno dengan kedua tokoh tadi masing-masing termuat dalam buku
Ho Chi Minh & Sukarno dan
Kennedy & Sukarno. Buku lain dalam serial yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan majalah
Historia itu berjudul
Mengincar Bung Besar.