Menengok konversi kokpit digital dari ST Aerospace Singapura
Kamis, 18 Februari 2016 13:03 WIB | 5.738 Views
Pewarta: Ade Marboen
Kokpit digital C-130 Hercules hasil pengembangan ST Aerospace, Singapura, yang diperagakan di Singapore Air Show 2016. Hingga saat ini C-130 Hercules diakui sebagai pesawat transport berat multi fungsi paling mumpuni di seluruh dunia dan dipergunakan puluhan negara, ratusan operator. (ANTARA News/Ade P Marboen)
Changi, Singapura (ANTARA News) - Indonesia tercatat sebagai penerima dan operator perdana seri C-130 Hercules dari Amerika Serikat, pada ujung dasawarsa ’50-an. Sampai kini, puluhan C-130
Hercules itu beroperasi di Skuadron Udara 31 dan Sekuadron 32 TNI AU; malah ketambahan dari bekas pakai Angkatan Udara Australia.
Setelah puluhan tahun, tentu banyak sekali perkembangan teknologi disematkan pada C-130
Hercules, yang sampai kini telah menjadi C-130J. Seri terakhir ini cuma dioperasikan sedikit negara selain Amerika Serikat.
Jika pada awalnya, teknologi kokpit di C-130 adalah teknologi analog, semua indikatornya memakai alat mekanis. Komponen penunjuk di indikator —secara kasat mata— memakai jarum dan bola-bola, yang sudah tidak mumpuni untuk keperluan misi penerbangan saat ini.
Tugas dan kerja pilot menjadi lebih berat karena semuanya dilakukan secara manual. Demikian juga dengan teknisi penerbangan, orang ketiga yang duduk di kursi di antara pilot in command dan kopilot.
Inilah yang kemudian dilihat banyak perusahaan pengembangan dan riset spesialis di instrumen penerbangan dunia untuk diubah dan dikonversi menjadi kokpit digital alias glass cockpit. Salah satu di antara mereka adalah Israel Aerospace Industries dan ST Aerospace (anak perusahaan ST Technology dari Singapura).
Yang terakhir ini membuka gerai di Singapore Air Show 2016, memajang replika kokpit C-130 Hercules yang ditata rapi dan hampir sama dengan aslinya. Konfigurasinya standar, yaitu dua kursi pilot, stik kendali konvensional khas pesawat terbang transport, dan lain-lain.
Yang berbeda adalah konfigurasi papan instrumen pada kokpit, yang berada tepat di depan kursi pilot-pilotnya. Tampilannya bisa diubah-ubah, apakah menjadi “manual” atau digital sepenuhnya. Pengertian manual sebetulnya tidak demikian juga, karena berbasis digital juga.
“Inilah yang menjadikan rancangan kokpit digital kami berbeda. Tergantung keinginan operator, apakah mau sepenuhnya digital atau dikombinasi dengan nuansa manual pada beberapa instrumen pokok,” kata Senior Principal Engineer Electrical System ST Aerospace, Simon Goh, yang memberi penjelasan, Kamis.
Dia menjelaskan berbagai hal tentang produk terkini pada sektor instrumen penerbangan itu secara runtun. Bahwa ada beberapa aspek pokok sistem propulsi yang harus diawasi oleh penerbang terkait kelaikan pesawat terbangnya, yaitu indikator temperatur mesin, tekanan dan temperatur oli, bahan bakar, dan sistem pendinginan.
Cari contoh satu sektor itu, kata dia, bisa ditampilkan secara “manual” atau digital sepenuhnya melalui enam layar monitor lebar, masing-masing tiga di bagi kapten pilot dan tiga untuk kopilot. Masing-masing layar monitor itu, kata dia, juga bisa saling bertukar peran jika memang dikehendaki atau terjadi kerusakan subsistem.
Misalnya pada layar monitor 3 (di depan kursi kapten pilot), terjadi ketidaknormalan kinerja. Padahal di sana ada deretan indikator temperatur mesin, tekanan dan temperatur oli, bahan bakar, dan sistem pendinginan. Jika ini terjadi maka pilot bisa “memindahkan” papan indikator itu pada layar monitor berikutnya.
Sedangkan di layar monitor sebelahnya lagi ditampilkan indikator navigasi (peta digital, kompas digital, horizon buatan, peta cuaca, altimeter, barometer digital, dan sebagainya). Saling tukar dan multi peran inilah yang menjadi unggulan produk mereka.
“Yang penting juga, biayanya. Jika Anda memiliki uang sekitar 95 juta dolar Amerika Serikat, mungkin Anda bisa memiliki C-130J Hercules langsung dari pabriknya. Namun jika Anda cuma memiliki 10 juta dolar Amerika Serikat namun ingin meningkatkan kinerja pesawat Anda, maka kami jawabannya,” kata Goh.
Ngomong-ngomong, dia paham benar sejarah pemakaian C-130 Hercules bagi TNI AU. “Kami juga sudah datang ke Malang untuk menawarkan produk kami. Yang jelas, tidak ada konsekuensi politis apapun dan kami siap berbagi teknologi,” kata Goh.
Di Malang, Jawa Timur, itulah terletak Pangkalan Udara Utama TNI AU Abdurrahman Saleh, di mana Skuadron Udara 32 TNI AU berada. Komposisi utama pesawat terbangnya adalah C-130B Hercules, yang berbadan pendek.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Menengok konversi kokpit digital dari ST Aerospace Singapura - ANTARA News
Menengok konversi kokpit digital dari ST Aerospace Singapura
Kamis, 18 Februari 2016 13:03 WIB | 5.738 Views
Pewarta: Ade Marboen
Kokpit digital C-130 Hercules hasil pengembangan ST Aerospace, Singapura, yang diperagakan di Singapore Air Show 2016. Hingga saat ini C-130 Hercules diakui sebagai pesawat transport berat multi fungsi paling mumpuni di seluruh dunia dan dipergunakan puluhan negara, ratusan operator. (ANTARA News/Ade P Marboen)
Changi, Singapura (ANTARA News) - Indonesia tercatat sebagai penerima dan operator perdana seri C-130 Hercules dari Amerika Serikat, pada ujung dasawarsa ’50-an. Sampai kini, puluhan C-130
Hercules itu beroperasi di Skuadron Udara 31 dan Sekuadron 32 TNI AU; malah ketambahan dari bekas pakai Angkatan Udara Australia.
Setelah puluhan tahun, tentu banyak sekali perkembangan teknologi disematkan pada C-130
Hercules, yang sampai kini telah menjadi C-130J. Seri terakhir ini cuma dioperasikan sedikit negara selain Amerika Serikat.
Jika pada awalnya, teknologi kokpit di C-130 adalah teknologi analog, semua indikatornya memakai alat mekanis. Komponen penunjuk di indikator —secara kasat mata— memakai jarum dan bola-bola, yang sudah tidak mumpuni untuk keperluan misi penerbangan saat ini.
Tugas dan kerja pilot menjadi lebih berat karena semuanya dilakukan secara manual. Demikian juga dengan teknisi penerbangan, orang ketiga yang duduk di kursi di antara pilot in command dan kopilot.
Inilah yang kemudian dilihat banyak perusahaan pengembangan dan riset spesialis di instrumen penerbangan dunia untuk diubah dan dikonversi menjadi kokpit digital alias glass cockpit. Salah satu di antara mereka adalah Israel Aerospace Industries dan ST Aerospace (anak perusahaan ST Technology dari Singapura).
Yang terakhir ini membuka gerai di Singapore Air Show 2016, memajang replika kokpit C-130 Hercules yang ditata rapi dan hampir sama dengan aslinya. Konfigurasinya standar, yaitu dua kursi pilot, stik kendali konvensional khas pesawat terbang transport, dan lain-lain.
Yang berbeda adalah konfigurasi papan instrumen pada kokpit, yang berada tepat di depan kursi pilot-pilotnya. Tampilannya bisa diubah-ubah, apakah menjadi “manual” atau digital sepenuhnya. Pengertian manual sebetulnya tidak demikian juga, karena berbasis digital juga.
“Inilah yang menjadikan rancangan kokpit digital kami berbeda. Tergantung keinginan operator, apakah mau sepenuhnya digital atau dikombinasi dengan nuansa manual pada beberapa instrumen pokok,” kata Senior Principal Engineer Electrical System ST Aerospace, Simon Goh, yang memberi penjelasan, Kamis.
Dia menjelaskan berbagai hal tentang produk terkini pada sektor instrumen penerbangan itu secara runtun. Bahwa ada beberapa aspek pokok sistem propulsi yang harus diawasi oleh penerbang terkait kelaikan pesawat terbangnya, yaitu indikator temperatur mesin, tekanan dan temperatur oli, bahan bakar, dan sistem pendinginan.
Cari contoh satu sektor itu, kata dia, bisa ditampilkan secara “manual” atau digital sepenuhnya melalui enam layar monitor lebar, masing-masing tiga di bagi kapten pilot dan tiga untuk kopilot. Masing-masing layar monitor itu, kata dia, juga bisa saling bertukar peran jika memang dikehendaki atau terjadi kerusakan subsistem.
Misalnya pada layar monitor 3 (di depan kursi kapten pilot), terjadi ketidaknormalan kinerja. Padahal di sana ada deretan indikator temperatur mesin, tekanan dan temperatur oli, bahan bakar, dan sistem pendinginan. Jika ini terjadi maka pilot bisa “memindahkan” papan indikator itu pada layar monitor berikutnya.
Sedangkan di layar monitor sebelahnya lagi ditampilkan indikator navigasi (peta digital, kompas digital, horizon buatan, peta cuaca, altimeter, barometer digital, dan sebagainya). Saling tukar dan multi peran inilah yang menjadi unggulan produk mereka.
“Yang penting juga, biayanya. Jika Anda memiliki uang sekitar 95 juta dolar Amerika Serikat, mungkin Anda bisa memiliki C-130J Hercules langsung dari pabriknya. Namun jika Anda cuma memiliki 10 juta dolar Amerika Serikat namun ingin meningkatkan kinerja pesawat Anda, maka kami jawabannya,” kata Goh.
Ngomong-ngomong, dia paham benar sejarah pemakaian C-130 Hercules bagi TNI AU. “Kami juga sudah datang ke Malang untuk menawarkan produk kami. Yang jelas, tidak ada konsekuensi politis apapun dan kami siap berbagi teknologi,” kata Goh.
Di Malang, Jawa Timur, itulah terletak Pangkalan Udara Utama TNI AU Abdurrahman Saleh, di mana Skuadron Udara 32 TNI AU berada. Komposisi utama pesawat terbangnya adalah C-130B Hercules, yang berbadan pendek.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Menengok konversi kokpit digital dari ST Aerospace Singapura - ANTARA News