LAPAN XT-400, “Kakak Tiri” N219 yang Terlupakan
Sebelum muncul N219, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebenarnya telah menghasilkan pesawat berkategori komuter bernama XT (eXperimental Transport)-400. Proyek ini terlupakan karena digagalkan sebelum lahir akibat egoisme sentralistik, sekaligus sebagai bukti nyata carut marut dan campur aduk antara lembaga riset dan produksi di negara ini.
LAPAN berdiri pada tahun 1964 sebagai lembaga riset teknologi penerbangan dan antariksa. Nurtanio sebagai pimpinan LAPAN memprioritaskan pengujian roket karena mengikuti tren waktu itu, sarat perlombaan peluncuran roket pasca keberhasilan satelit buatan Sputnik mengorbit pada tahun 1957 dan sindirian dari Forum
International Geophysical Year 1957-1958 yang menyebut Indonesia sebagai
blank area akibat data ilmiah antariksa yang minim.
LAPAN lantas meluncurkan dua seri roket Kartika dan lewat bantuan Jepang, tiga seri roket Kappa-8 di Pusat Antariksa LAPAN di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat periode tahun 1964-1965. Lembaga riset ini sempat vakum pasca gugurnya Nurtanio dan peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.
XT-400, hasil karya pertama dari unit Sainkon LAPAN lewat kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara. Tampak pandangan tiga sisi XT-400 berikut dimensi dan performanya.
Jacob Salatun lantas mengambil alih kepemimpinan LAPAN. Sebenarnya Salatun adalah tokoh yang memotori berdirinya lembaga ini. Sebagai Sekretaris Depanri (Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia), dia justru meminta seniornya, Nurtanio untuk memimpin.
Ide pendirian LAPAN berasal dari NASA (
National Aeronautics and Space Administration) milik Amerika Serikat dan TsAGI (
Tsentralniy Aerogidrodinamicheskiy Institut) milik Uni Soviet. Kedua negara ini maju di bidang teknologi penerbangan dan antariksa karena memisahkan dengan jelas antara lembaga riset dan produksi.
Di bawah kepemimpinan Salatun, LAPAN menggiatkan riset penerbangan apalagi didukung oleh surat keputusan Presiden Soeharto pada tahun 1974 yang isinya mempertegas fungsi LAPAN untuk merintis dan mengembangkan kedirgantaraan nasional. Maka dibangunlah kantor Pustekbang (Pusat Teknologi Penerbangan) di Rumpin, Kabupaten Bogor dan unit Sainkon (Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara) oleh LAPAN pada tahun 1977.
Lewat Sainkon inilah dibangun proyek pesawat komuter tujuh penumpang XT-400 lewat kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara. Perancangnya ? Tidak lain adalah Suharto, staf teknik alumni Technisch Hochschule Braunschweig yang sebelumnya ikut membidani proyek pesawat latih mula kerjasama dengan LIPNUR (Lembaga Industri Pesawat terbang Nurtanio), LT-200 (Baca :
Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – LT-200 Skytrainer). Suharto sendiri kenal baik dengan Salatun yang dianggap sebagai seniornya, salah satu dari trio—Nurtanio, Wiweko Soepono, dan Salatun—perintis Biro Rencana dan Konstruksi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia).
Guntingan berita dari KOMPAS tanggal 13 April 1978 yang menceritakan perjalanan proyek pesawat komuter tujuh penumpang XT-400 milik LAPAN-PT.Chandra Dirgantara.
Membuat pesawat komuter merupakan lanjutan pembangunan riset kedirgantaraan yang logis setelah memproduksi sendiri pesawat latih. Apalagi pesawat ini untuk melayani penerbangan perintis
, pasarnya sangat potensial karena masih banyak lapangan terbang sederhana di Indonesia khususnya di pelosok Kalimantan dan Papua yang belum dilayani jalur penerbangan.
Rancangan pesawat berkemampuan STOL (
Short Take Off and Landing) ini berkapasitas tujuh penumpang dan bermesin piston ganda tipe Lycoming O-540 250 tk. Suharto tetap berpegang teguh pada gagasan seniornya, Nurtanio, membangun pesawat dengan teknologi sederhana, tidak muluk-muluk, dan tentunya dengan biaya riset dan produksi terjangkau.
Satu hal lagi yang didapat dari Nurtanio adalah membajak teknologi. Suharto secara terang-terangan mengakui inspirasinya dari pesawat komuter yang sudah sukses, Britten Norman BN-2 asal Inggris. Tidak malu-malu pula, datang ke pabriknya di Bembridge dan mengukur dimensi BN-2 dengan alat ukur seadanya berupa meteran ! Hasil dari pengukuran kasar inilah yang dijadikan salah satu sumber data untuk merancang XT-400. Angka empat dipilih Suharto sebagai rancangan pesawat komuter/angkut ringan bermesin ganda.
XT-400 dari tampilan fisik mirip BN-2, tapi dengan roda pendarat utama dipasang di dudukan berbentuk sayap kecil (
stubwing). Struktur kokoh dan sederhana sesuai FAR (
Federal Aviation Regulations) Part 23 dan 25 berkatagori serba guna (
utility) dengan desain badan dapat menanggung beban -1,5G (Gravitasi) sampai +3,6G. Uniknya pesawat ini memiliki pintu belakang (
rear loading door) yang dioperasikan manual untuk memudahkan bongkar muat barang bila dijadikan pesawat angkut/kargo murni.
Tata letak kokpit XT-400 dalam mock-up (kiri) dan roda pendarat utama pesawat yang ditempatkan di sponson berbentuk sayap kecil (kanan).
Karena berkapasitas tujuh penumpang, XT-400 tidak bersaing dengan BN-2 (sembilan penumpang). XT-400 juga direncanakan dikembangkan menjadi 11 penumpang dengan mesin 325 tk, lagi-lagi tidak bersaing dengan BN-2 dan masih jauh dari kapasitas angkut CASA C-212—18 penumpang—yang mulai diproduksi secara lisensi di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio), pengembangan dari LIPNUR.
XT-400 didukung penuh oleh Menristek (Menteri Riset dan Teknologi) Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo dengan pembiayaan Rp100 juta dari BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Uang itu dipakai untuk membuat XT-400 “di atas kertas” dan dalam bentuk
mock-up 1:1, pesawat tiruan terbuat dari material murah seperti kayu dan alumunium lunak untuk memberikan gambaran nyata perkiraan dimensi, berat, tampilan kokpit, tata letak kursi penumpang, aspek ergonomi, dan sebagainya.
Mock-up XT-400 dibangun dengan melibatkan pula mahasiswa dari Universitas Pancasila di halaman rumah Suharto, di Jalan Ampera, Kemang, tempat yang sama untuk membangun replika Cureng dan Guntei di film Serangan Fajar (Baca :
Membangun Replika Cureng dan Guntei untuk Film Serangan Fajar). Setelah
mock-up, baru dibangun prototipe pesawat sesungguhnya yang diperkirakan selesai pada akhir tahun 1979 atau awal tahun 1980.
Rangka bagian depan XT-400, tampak posisi pilot di kokpit (kiri) dan rangka badan pesawat yang selesai dirakit (kanan).
Mock-up XT-400 minus sayap yang sudah dicat. XT-400 dilengkapi dua pintu di sisi kiri dan satu pintu di sisi kanan, dan memiliki pintu belakang di bawah ekor untuk bongkar muat barang.
Pergantian kabinet menteri pada bulan Oktober 1978 membuyarkan harapan itu. BJ Habibie sebagai menristek yang baru memutuskan secara sepihak bahwa XT-400 tidak dibutuhkan karena seluruh kegiatan produksi pesawat terbang dipusatkan di IPTN, fokus pada produksi C-212. XT-400 bernasib sama dengan LT-200. Keputusan egoisme sektoral ini sekaligus mematikan potensi, kebanggan, dan kemandirian industri penerbangan nasional.
Proyek XT-400 yang telah mencapai hampir 50% dihentikan dan unit Saikon LAPAN dinonaktifkan. Sayangnya
mock-up-nya tidak dapat diselamatkan, yang tersisa hanya foto-foto dokumentasi dan hasil riset XT-400, telah diserahkan kepada LAPAN sebagai bagian dari arsip nasional. Pesawat yang pernah dimuat dalam buku Jane’s All The Worlds Aircraft edisi Februari 1979 ini agar tidak dilupakan oleh generasi mendatang, dibangunlah replika XT-400—berukuran lebih kecil—oleh LAPAN sebagai monumen di Rumpin.
LAPAN pasca dihentikannya XT-400 hanya melakukan riset di bidang luar angkasa karena riset penerbangan diambil alih dan dipusatkan di satu tempat, IPTN ! Campur aduk dan carut marut ini nantinya dibayar mahal lewat kegagalan N250 dan N2130. Kedua proyek nasional ini menelan investasi besar tanpa ada instansi atau badan di pemerintahan yang mengerem dan menilai kelaikannya.
Pohon keluarga (family tree) XT-400, meliputi penggunaan sipil dan militer. Versi berikutnya yaitu dengan badan lebih panjang dapat mengangkut 11 penumpang dan untuk patroli maritim.
Dianak tirikan sebagai lembaga riset penerbangan, LAPAN mendapat perhatian pasca runtuhnya Orde Baru digantikan Orde Reformasi. Pustekbang diaktifkan kembali pada tahun 2011 saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Unit ini kembali melaksanakan riset pesawat terbang lewat membangun pesawat tanpa awak dan tentunya terlibat dalam pembuatan N219 bersama PT. DI (Dirgantara Indonesia), nama baru IPTN pasca reformasi.
Apakah kerjasama LAPAN-PT. DI ini lewat N219 sebagai simbol dan realisasi terpisahnya lembaga riset dan produksi industri penerbangan nasional ? Masih terlalu dini menjawab dengan jawaban positif karena N219 adalah hasil riset PT. DI bukan riset dari LAPAN. N219 dan N245—pesawat regional turboprop 45 penumpang berbasis CN235 pasca reformasi—muncul sebagai jawaban dari PT. DI atas terhentinya N250 dan N2130 dengan membuat proyek yang lebih realistis.
Kalau memang LAPAN menjadi lembaga riset seharusnya XT-400 yang dibuat—atau pesawat komuter riset dari LAPAN sendiri—bukannya mengadopsi N219. XT-400 justru menjadi “kakak tiri” dari N219, karena walaupun berkategori sama yaitu pesawat komuter dan dibangun lewat kerjasama dengan LAPAN, tapi dari spesifikasi dan desain sangat jauh berbeda.
Yang mengkhawatirkan adalah PT. DI menggandeng LAPAN bukan sebagai mitra riset melainkan penyandang dana untuk membangun prototipe N219. Sebagai catatan, pasca reformasi PT. DI nyaris bangkrut, aset yang dimiliki hanya sanggup untuk memproduksi pesanan pesawat lisensi, tidak ada uang untuk membuat pesawat produksi sendiri.
Kalau itu benar yang terjadi maka masa depan N219 akan suram karena ada kemungkinan gagal. PT. DI sebagai lembaga produksi harus mencari pembiayaan secara mandiri baik dari hasil keuntungan perusahaan maupun investasi dari luar untuk memproduksi N219. Dari sisi investasi saja pembangunan prototipe N219 tergolong lebih mahal daripada XT-400 karena berdimensi lebih besar, kapasitas penumpang lebih banyak, bermesin ganda turboprop, dan penerapan teknologi canggih di kokpit.
N219 yang terbang perdana pada tanggal 16 Agustus 2017 lalu menjadi bukti apakah tumpang tindih lembaga riset dan produksi industri penerbangan ini telah berhasil diselesaikan dengan baik atau justru sebaliknya menjadi lebih rumit dan tidak bernasib sama seperti XT-400.
N219 juga harus membuktikan kemampuannya sebagai pesawat perintis yang andal, bukan sekedar mempromosikan kecanggihan teknologinya dan terpenting lagi harus diuji coba di lapangan terbang pedalaman seperti di Papua yang bahkan pilot-pilot perintis berpengalaman sekalipun mengakui cukup berat tantangannya.
Suharto berfoto di depan monumen replika pesawat rancangannya XT-400 di Pustekbang, Rumpin, Bogor pada tahun 2015, saat hadir dalam HUT (Hari Ulang Tahun) LAPAN ke-52.
Seandainya proyek XT-400 tidak digagalkan, Indonesia kemungkinan besar lebih maju industri penerbangannya, sudah memiliki pesawat kelas komuter yang dibuat sendiri dengan harga terjangkau. Tidak tertutup kemungkinan pula lahir versi pengembangan XT-400 bermesin turboprop dan berkapasitas 19 penumpang pada era 1990-an. Bukan seperti sekarang ini yang terkesan
reinvent the wheel, membuang-buang waktu, tenaga, dan uang untuk menciptakan sesuatu yang faktanya sudah pernah dibuat !
Untuk XT-400 sendiri, Suharto masih terus mengembangkannya menjadi XT-800, terinspirasi dari semakin andalnya mesin dan munculnya pesawat komuter bermesin satu pada tahun 1990-an seperti Gavilán 358, GippsAero GA8, dan Cessna Caravan. XT-800 adalah XT-400 tapi bermesin tunggal. Desain pesawat komuter berkapasitas 11 penumpang ini dirancang Suharto bersama tim dari Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma pada tahun 2008.
Walaupun sudah berumur lanjut (84 tahun), Suharto yang telah diangkat sebagai salah satu dari sesepuh LAPAN tetap bersemangat dalam berkiprah di dunia penerbangan. Lewat proposalnya ke LAPAN, dia menyertakan seluruh karyanya termasuk rancangan XT-800 ini sebagai bahan pertimbangan bagi proyek Pustekbang selanjutnya.
(Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
WTF, this is very outrageous and unacceptable...