What's new

Indonesia Defence Forum

prajurit-tni-pada-upacara-hut-ke-72-di-cilegon-banten-rabu-0510-reuters.jpg

FROM INDONESIA
MAMPUKAH TNI LINDUNGI NKRI DARI AGRESI CINA?
7 OCTOBER 2017 DIANEKO_LC 5 COMMENTS
Ketika agresi Cina di Laut Cina Selatan kian menguat, TNI masih sibuk mengurus ancaman hantu komunisme dan separatisme. Mampukah TNI melindungi klaim teritorial Indonesia seperti yang diminta Presiden Joko Widodo?

Susi Pudjiastuti bukan figur yang dikenal gemar bermanis kata. Namun keluhannya tentang kesiapan TNI menjaga kedaulatan maritim Indonesia terdengar sayup di tengah kegaduhan soal ambisi politik Panglima Gatot Nurmantyo. “Pemerintah tidak memperbaiki sistem alutsista untuk sektor kelautan, sebaliknya malah fokus melindungi daratan,” cetusnya seperti dilansir Jakarta Post.

Keluhan menteri kelautan dan perikanan itu bukan tanpa alasan. Sejak tujuh dekade silam TNI diplot untuk melindungi kedaulatan di darat dari kekuatan kolonial dan gelombang separatisme. Hingga kini tulang punggung pertahanan Indonesia adalah Angkatan Darat, yang mengklaim 80% dari 400.000 prajurit TNI. Padahal, kata Susi, 70% wilayah Indonesia merupakan lautan.

Saat ini Angkatan Laut Indonesia punya 7 kapal fregat, 24 korvet, 4 kapal selam, 12 kapal penyapu ranjau dan 72 kapal patroli. Meski terdengar banyak, lebih dari separuh armada laut Indonesia telah berusia uzur dan harus dipensiunkan dalam beberapa tahun ke depan. Kekuatan TNI jauh berada di bawah Cina yang saat ini pun sedang giat menambah armada kapal induk, kapal berkapasitas berat, dan kapal selam untuk melindungi klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan.

Beijing juga aktif membangun pangkalan militer di Kepulauan Spratly, termasuk landasan pacu. Menurut pengamat, Indonesia hanya punya waktu 15 menit untuk mempersiapkan pertahanan di Natuna jika Cina melancarkan serangan udara dari Laut Cina Selatan.

su-30-mk2-flanker-tni-au-1-imf.jpg

Su-30 MK2 Flanker TNI AU (IMF)
Maka pembelian alutsista untuk pertahanan udara dan laut yang dilakukan pemerintah belakangan ini ibarat setetes air di padang pasir. Agustus silam Indonesia menyepakati pembelian 11 Sukhoi SU-35 dan menerima kapal selam seberat 1.400 ton buatan Daewoo, Korea Selatan. Sementara kapal perang teranyar milik TNI adalah 4 kapal perusak berpeluru kendali kelas SIGMA yang dibeli dari Belanda lebih dari sepuluh tahun silam.

Selain keterbatasan alat, TNI juga ditengarai kerepotan menggalang ketahanan energi. Hal ini pertamakali diungkapkan ke publik oleh Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo pada 2013 silam. “TNI enggak punya ketahanan energi. Pesawat ada, kapal ada, tapi tidak bisa digerakkan dengan air,” ujarnya seperti dilansir Tirto.co.id.

Perlu diakui, melindungi wilayah perairan yang membentang sepanjang 5.000 kilometer dari timur ke barat bukan tugas ringan. Tugas tersebut menjadi lebih rumit ketika Cina menggunakan nelayan sipil untuk mengokohkan klaim teritorialnya atas kawasan perairan di sekitar kepulauan Natuna. Tahun 2016 silam, ketika Indonesia berusaha menangkap kapal nelayan ilegal asal Cina, Pasukan Penjaga Pantai dari negeri tirai bambu itu bereaksi cepat melindungi warganya.

Susi pernah mengklaim kerugian yang ditanggung Indonesia dari penangkapan ilegal sudah mencapai 240 trilyun Rupiah per tahun. Namun upayanya menghalau nelayan asing terbentur keterbatasan alat. “Fasilitas yang ada sangat terbatas. Kita hanya punya beberapa kapal patroli kecil,” imbuh sang menteri.

Ancaman dari Laut Cina Selatan bukan satu-satunya tantangan yang harus dihadapi Indonesia. Sejak beberapa tahun silam TNI AL juga sibuk mengawasi perairan di sekitar Laut Sulu dan Celebes untuk meredam geliat terorisme yang sedang mengakar di Filipina. Provinsi Sulawesi Utara hanya berjarak 300km dari Mindanao yang sering didera terorisme lintas batas.

Sebab itu pula polemik seputar hak politik TNI dinilai tiba pada saat yang tidak tepat. “Sampai kapanpun juga kita harus waspada terhadap upaya dari luar yang merongrong keutuhan wilayah Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutan HUT ke-72 TNI di Cilegon, Rabu (5/10). Isyarat dari Istana Negara itu sulit dilewatkan, TNI harus fokus ke luar, bukan ke dalam.

Arah kebijakan pertahanan yang dilantunkan Istana tidak berbanding lurus dengan strategi militer Cilangkap. Kepada Tirto, Kusnanto Anggoro, peneliti politik dan keamanan internasional sekaligus dosen di Universitas Pertahanan Indonesia, mengatakan desain pertahanan yang tertuang dalam kebijakan Minimum Essential Force hingga 2024 masih berkutat pada ancaman internal berupa “separatisme dalam negeri.”

“Melihat konstelasi Cina di Laut Cina Selatan, kisruh mereka dengan India dan penempatan pasukan AS di Darwin, saya tidak yakin TNI hanya cukup mengurus pertahanan internal sampai 2024,” katanya.

Sejauh ini petinggi militer lebih suka tenggelam pada romantisme perang kemerdekaan. “Kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan,” kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo ihwal ancaman dari Laut Cina Selatan. Tidak berbeda dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. “Kita punya 100 juta rakyat. Ada yang berani menyerang 100 juta? Pasti tidak berani.”

Sumber : DW

Damn Susi, vote her for next MoD
 
18 T itu 1,2 billion US dollar, that sum of money is able to bought a heavy AAW frigate or one squadron worth Su 35 or 150 worth Leopard 2A7 SEP or several hundreds IFV and so on.

Its more than A single choper worth

That is not Densus, its Jaguar anti-crime unit (Depok Police) firing exercise with 328th Para Raider Battalion
 
KRI Teluk Gilimanuk bersandar di pelabuhan Pontianak
Senin, 9 Oktober 2017 16:28 WIB - 479 Views

Pewarta: Slamet Ardiansyah dan Andilala

20171009kri_teluk_gilimanuk.jpg

Profil KRI Teluk Gilimanuk-531. (www.shipspotting.com)

Pontianak (ANTARA News) - KRI Teluk Gilimanuk-531, Senin, bersandar di Pelabuhan Dwikora, Pontianak, Kalimantan Barat, dalam melakukan pengisian bahan logistik pendukung sebelum melakukan patroli di perairan Indonesia.

Komandan KRI Teluk Gilimanuk-531, Mayor Pelaut Puji Basuki, di Pontianak, mengatakan, kedatangan KRI Teluk Gilimanuk-531 ke Pontianak itu bermaksud untuk mengisi ulang beberapa bahan logistik pendukung untuk menunjang tugas dan pelayaran berikutnya.

"Sebelumnya, kami melakukan patroli di perairan Natuna dan sekitarnya, lalu singgah ke Pontianak untuk mengisi logistik," katanya.

Menurut dia, KRI Teluk Gilimanuk-531 yang adalah kapal pendarat tank alias landing ship tank kelas Frosch I-108 yang pada 1994 diakuisisi TNI AL dari Angkatan Laut Jerman Timur, yang juga menjadi bagian dari armada pendarat bagi pasukan Marinir TNI AL.

KRI Teluk Gilimanuk-531 itu dibangun VEB Peenewerft, Wolgast, Jerman Timur, pada 1976. "Walaupun usianya sudah cukup tua, namun KRI Teluk Gilimanuk-531 masih bisa eksis sampai saat ini," katanya.

"Kapal ini di bawah Satuan Amfibi Komando Armada Indonesia Kawasan Barat TNI AL," ujarnya.

Ia menambahkan, selama di Laut Natuna, KRI Teluk Gilimanuk-531 bertugas berpatroli, termasuk mencegah dan menanggulangi pencurian ikan oleh kapal ikan asing.
Editor: Ade Marboen

COPYRIGHT © ANTARA 2017


22280333_178359296047796_3703780329199239168_n.jpg
22158954_225588061309388_1356866708102447104_n.jpg
 
22279782_141986386543395_4859162002154433770_n.jpg


- 388 (8,6 mm).
- Berat dengan magasen terisi 11,5 kg ± 0,2 kg.
- Panjang senjata 1.298 ± 3 mm.
- Kapasitas magasen 5 butir amunisi.
- Mode penembakan aman dan tunggal.
- Alat bidik optical sight.
- Memiliki sistem kerja bolt action dengan system penguncian putar.
 
Last edited:
well, Pindad still hasn't the capability to produce polymer firearms
11 kg could be because the rifle is built from an aluminium receiver just like its predecessor
on the other hand, heavy weight could also adding stability to the platform and decreasing felt recoil to the operator

sometimes ago, Pindad shows a prototype of G2 pistol with polymer lower receiver..maybe pindad mass-producing polymer rifle is not a distant dream after all :-)

CwajE5EUsAAzwuw.jpg
 
Last edited:
Back
Top Bottom