What's new

Indonesia Defence Forum

Turkish-Indonesian Tank Project Prototype in Finishing Stage

fsnn_1504868306.jpg

KAPLAN battle tank

The proptotype of a Turkish-Indonesian project to manufacture the KAPLAN battle tank in Indonesia will be displayed at the Army Day military parade in Indonesia in October 2018.

Turkish armored-vehicle manufacturer FNSS and Indonesian PT Pindad have been working on producing the KAPLAN tank in Indonesia following an agreement in 2015 and work on the prototype is in the finishing stages, Anadulu agency reported Friday.

Defense officials from Turkey and Indonesia recently discussed the progress of a cooperation agreement, including an ongoing project to produce a medium-weight battle tank, Indonesian sources said Friday as quoted by Turkey’s Anadolu Agency.

Director General of Defense Potential for Indonesia Sutrimo Sumarlan was quoted as saying by Anadolu Agency, “this is the sixth annual Defense Industry Cooperation Meeting where we evaluated the progress of mutually beneficial agreements. We also exchanged information and introduced products created by each country’s defense industry.”

In addition to the KAPLAN tank project, “Turkey has offered design and technology cooperation for type-214 submarines,” said Sumarlan.

Sumarlan further stated that Ankara had discussed with Jakarta the joint production of medium-altitude long endurance (MALE) unmanned aircraft.

http://www.defenseworld.net/news/20...ect_Prototype_in_Finishing_Stage#.WbLQHMgjFPY
 
Jumat, 08 September 2017
✈️ F-16A/B TNI AU akan menjalani upgrade avionik yang akan dilangsungkan di Lanud Iswahjudi [Didik Dharma]

Satu skadron pesawat tempur F16 yang melengkapi Skadron 16 Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau akan menjalani proses "upgrade" atau peningkatan di Pangkalan Udara Iswahjudi, Jawa Timur.

"Pesawat disini akan ditingkatkan atau upgrade masalah avionik yang dilaksanakan di Iswahjudi," kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Jemy Trisonjaya kepada Antara di Pekanbaru, Jumat.

TNI AU mulai mewacanakan untuk mengganti pesawat tempur F16 A/B yang saat ini memperkuat Lanud Roesmin Nurjadi dengan F16C/D Fighting Falcon Block 52ID, yang saat ini berada di Iswahjudi sejak tahun lalu.

Jemy mengatakan, proses pergantian tersebut telah dilakukan sejak medio tahun ini. Pergantian pesawat tempur buatan negeri Paman Sam tersebut dilakukan secara bertahap yang ditargetkan selesai hingga April 2018.

Ia menjelaskan, skema pergantian dilakukan dengan cara mengganti per dua unit F16 dari Iswajudi ke Roesmin Nurjadin.

"Di Iswajudi dilakukan secara bertahap, pesawat di Iswahjudi ditinggal disini dua, dan dua lainnya dari sini geser ke Iswahjudi," urainya.

Ia mengatakan rencananya akan ada pergantian 16 unit pesawat F16C/D yang akan memperkuat Skadron 16 Lanud Roesmin Nurjadin, sementara pesawat sebelumnya akan menjalani proses "upgrade" di Iswahjudi.

Lebih jauh, dia menuturkan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebelumnya telah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan guna memperpanjang landasan pacu Lanud Roesmin Nurjadin.

Landasan pacu tersebut, kata dia, nantinya akan ditambah menjadi 3.000 meter dari saat ini 2.600 meter. Dengan landasan pacu sepanjang 3.000 meter, dia mengatakan akan sangat mendukung operasional F16 generasi baru tersebut.

Lanud Roesmin Nurjadin merupakan satu-satunya pangkalan militer tipe A di Pulau Sumatera. Terdapat dua skadron udara yang memperkuat pangkalan militer tersebut. Selain Skadron Udara 16 dengan jet tempur F16 "fighting falcon", juga terdapat Skadron Udara 12 yang diperkuat dengan Hawk 100/200.

✈️ Antara
 
pesawat-pengintai-milik-militer-as-telah-mendarat-di-lanudal-juanda.jpg

FROM INDONESIA
LAMA CARAT 2017, TNI AL AKAN IKUT AWAKI PESAWAT CANGGIH AS
9 SEPTEMBER 2017 DIANEKO_LC 1 COMMENT
Pesawat jelajah sekaligus pesawat pengintai antikapal selam AS dikerahkan dalam latihan militer bersama antara TNI AL dengan Angkatan Laut AS. Pesawat ini akan dioperasikan dalam latihan rutin kedua negara.

Jumat (8/9/2017) Siang tadi, pesawat canggih itu tiba di Lanudal Juanda Surabaya. Alutsista Negara Paman Sam ini dalam CARAT itu juga akan diawaki prajurit TNI AL agar bertukar ilmu dirgantara maritim.

Begitu tiba, sejumlah petinggi Puspenerbal ikut meyambut kedatangan pesawat canggih itu.

Begitu juga para perwira dan penerbang handal TNI AL juga tampak hadir.

Kedatangan pesawat ini melengkapi alutsista AS lain yang sudah lebih dulu tiba. Seperti kapal ekspedisi cepat USNS Fall River dan ratusan personil marinir AS yang juga lebih dulu tiba di Perairan Jawa dan Bali.

Latihan perang bersama kedua negara atau CARAT ini yang ke-23 digelar.

Latihan lapangan akan digelar di Surabaya. Sedang latihan laut dan udara digelar di Laut Jawa dan Laut Bali.

Latihan bersama itu untuk memperkuat kerja sama keamanan maritim kedua negara.

“Indonesia dan AS memiliki nilai-nilai yang sama sebagai bangsa maritim. Kami saling menghormati,” kata Laksamana Muda Don Gabrielson, Komandan Gugus Tugas 73 US Navy.

Latihan militer yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu akan diikuti ratusan prajurit TNI AL.

Dari AS didatangkan 300 personil AL dan Korps Marinir mereka.

Latihan bersama ini akan menampilkan serangkaian latihan militer di laut.

Meliputi pertempuran permukaan, penanggulangan teroris, dan perombakan di atas kapal, termasuk latihan persenjataan dan operasi patroli laut.

Kemarin prajurit Marinir Amerika (USMC) telah mendarat di pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi menggunan kapal USNS Millinocket.

Kemudian melanjutkan menuju Pusat Latihan Pertempuran (Puslatpur) Korps Marinir Baluran.

Photo : Pesawat pengintai milik militer AS telah mendarat di Lanudal Juanda. (Surya)

Sumber : Surya

pesawat-pengintai-milik-militer-as-telah-mendarat-di-lanudal-juanda.jpg

FROM INDONESIA
LAMA CARAT 2017, TNI AL AKAN IKUT AWAKI PESAWAT CANGGIH AS
9 SEPTEMBER 2017 DIANEKO_LC 1 COMMENT
Pesawat jelajah sekaligus pesawat pengintai antikapal selam AS dikerahkan dalam latihan militer bersama antara TNI AL dengan Angkatan Laut AS. Pesawat ini akan dioperasikan dalam latihan rutin kedua negara.

Jumat (8/9/2017) Siang tadi, pesawat canggih itu tiba di Lanudal Juanda Surabaya. Alutsista Negara Paman Sam ini dalam CARAT itu juga akan diawaki prajurit TNI AL agar bertukar ilmu dirgantara maritim.

Begitu tiba, sejumlah petinggi Puspenerbal ikut meyambut kedatangan pesawat canggih itu.

Begitu juga para perwira dan penerbang handal TNI AL juga tampak hadir.

Kedatangan pesawat ini melengkapi alutsista AS lain yang sudah lebih dulu tiba. Seperti kapal ekspedisi cepat USNS Fall River dan ratusan personil marinir AS yang juga lebih dulu tiba di Perairan Jawa dan Bali.

Latihan perang bersama kedua negara atau CARAT ini yang ke-23 digelar.

Latihan lapangan akan digelar di Surabaya. Sedang latihan laut dan udara digelar di Laut Jawa dan Laut Bali.

Latihan bersama itu untuk memperkuat kerja sama keamanan maritim kedua negara.

“Indonesia dan AS memiliki nilai-nilai yang sama sebagai bangsa maritim. Kami saling menghormati,” kata Laksamana Muda Don Gabrielson, Komandan Gugus Tugas 73 US Navy.

Latihan militer yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu akan diikuti ratusan prajurit TNI AL.

Dari AS didatangkan 300 personil AL dan Korps Marinir mereka.

Latihan bersama ini akan menampilkan serangkaian latihan militer di laut.

Meliputi pertempuran permukaan, penanggulangan teroris, dan perombakan di atas kapal, termasuk latihan persenjataan dan operasi patroli laut.

Kemarin prajurit Marinir Amerika (USMC) telah mendarat di pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi menggunan kapal USNS Millinocket.

Kemudian melanjutkan menuju Pusat Latihan Pertempuran (Puslatpur) Korps Marinir Baluran.

Photo : Pesawat pengintai milik militer AS telah mendarat di Lanudal Juanda. (Surya)

Sumber : Surya
 
18444841_1347946388653402_6257288500073201664_n.jpg


17493997_230547857420182_55989124951179264_n.jpg
19120931_1842589112670925_4634825335123214336_n.jpg
18444539_127960541091649_4639010643314212864_n.jpg
18513679_1849601915362217_8123415575020961792_n.jpg
 

Attachments

  • 19227253_224731468036610_947322412284772352_n.jpg
    19227253_224731468036610_947322412284772352_n.jpg
    115.1 KB · Views: 45
TNI ready to send peacekeeping forces to Myanmar: Chief
8th September 2017 | 811 Views
20170609antarafoto-pemulangan-purna-tugas-operasi-tinombala-090617-mh-1.jpg

Profile of Indonesian Navy Marine Corps personnels. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Jakarta (ANTARA News) - The Chief of the Indonesian Armed Forces (TNI), General Gatot Nurmantyo, said here, Friday, that Indonesia was ready to send peacekeeping forces to Myanmar to help the Rohingya ethnic group in Rakhine.

However, it is yet to receive such orders from the United Nations, he added.

"The possibility is always there, as it is present in our law. However, it will all depend on the UN. The peacekeeping forces operate under the UN's control," he stressed, after opening TNI Chief Cup 2017 at TNI Headquarters.

He mentioned he had not communicated with the UN about it so far, but he was ready if he is ordered any time to send the troops.

"We are ready any time the UN orders us to," he remarked.

The army headquarters had earlier expressed its readiness, if ordered to send troops to Myanmar to help the Rohingyas.

"Sending troops to Myanmar will be the TNI's task. The army only prepares the troops," army spokesman Brigadier General Alfret Denny Tuejeh said, Thursday.

The army conducts exercises to carry out the orders from the TNI commander, but it will be done only after receiving the order.

"We only conduct exercises for whatever duty is assigned to us by the TNI commander. Again, the army is always ready for whatever duty it is given. It is the government that decides politically. We are ready for it," he emphasized.

Regarding border security following the Rohingya issue, he noted that TNI had the duty to secure the country's borders, and so anyone entering the country illegally would be arrested, including the Rohingya refugees.

"The border is manned not only by the TNI, but also the immigration and customs officials," he said.

geladi-upacara-peringatan-hari-jadi-tni-angkatan-laut-ke-72-tahun-2017-di-komplek-satuan-koarmabar-i-pondok-dayung-jakarta-utara-jumat-89-foto-dispen-koarmabar.jpg
1deac3e423a9750c4791c552093442da.jpg
 
Pengembangan N245 Butuh Rp 3 Triliun

09 September 2017


Model pesawat N245 (photo : Defense Studies)

BANDUNG, KOMPAS — Setelah sukses dengan uji terbang pesawat N219, PT Dirgantara Indonesia segera mengembangkan pesawat N245. Pesawat N245 merupakan turunan dari CN235 hanya saja tanpa dilengkapi dengan fasilitas ramp door atau pintu di bagian ekor pesawat.

PT Dirgantara Indonesia memperkirakan sertifikasi pesawat N245 butuh dana 225 juta dolar AS atau sekitar Rp 3 triliun. Dalam sertifikasi itu akan dilakukan pengujian komponen vital pesawat, seperti sistem avionik, sayap, kelengkapan kokpit, dan peralatan pendaratan. Proses itu ditargetkan rampung pada 2018.

”Biaya sebesar itu untuk membuat tiga prototipe (purwarupa) hingga merampungkan proses sertifikasi,” kata Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia, Arie Wibowo di Bandung, Rabu (6/9).

Arie mengatakan, saat ini, pengembangan N245 sedang dalam tahap desain awal. Menurut dia, targetnya pada 2018 selesai proses sertifikasi dan uji terbang dua tahun kemudian. Baru pada 2022, N245 dijadwalkan masuk pasar komersial.

Arie mengemukakan, potensi pasar N245 sangat besar di dalam negeri, terutama untuk melayani rute-rute yang berjarak antara 1 jam-1,5 jam melalui penerbangan.

”Di Indonesia belum banyak dijangkau penerbangan jarak pendek, seperti Surabaya-Jember, Bandung-Cirebon, Bandung-Pangandaran, yang kalau lewat jalur darat membutuhkan waktu agak lama. Sementara pesawat N219 nanti yang akan mengisi rute-rute perintis,” ujar Arie.

Arie juga menyinggung, kompetitor N245 adalah ATR 42 buatan Peransis. ”Namun, kami tidak khawatir karena keunggulan N245 dapat mendarat di landasan pendek kurang dari 1.000 meter. Banyak bandara di Indonesia yang kondisinya seperti ini, sedangkan pesawat kompetitor tidak mampu mendarat di landasan pendek,” ucapnya.

Menurut Arie, pangsa pasar pesawat kecil dan medium ini di Indonesia relatif besar, untuk N219 sekitar 100 unit. Sementara untuk N245 antara 50-80 unit. Apabila target pasar dalam negeri itu terpenuhi, target angka tersebut bagi PT DI sudah balik modal.

Potensi pasar untuk pesawat N219 dan N245 juga bukan saja di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Secara geografis yang cocok dengan Indonesia di antaranya kawasan Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. ”Kami berharap pesawat ini disukai banyak konsumen dari sejumlah negara,” katanya.

Arie mengungkapkan, Pemerintah Turki melalui Turkish Aerospace Industries Inc (TAI) juga berminat menjajaki kerja sama dengan PT DI untuk menjual pesawat itu ke kawasan Afrika. Turki, menurut Arie, mengusulkan agar pesawat N245 juga diproduksi di negara itu. Hal ini untuk memudahkan pemasaran pesawat ke kawasan Afrika yang jaraknya lebih dekat dari Turki dibandingkan dari Indonesia. Dengan demikian akan lebih efisien.

”Tawaran Turki ini sedang dipertimbangkan, bentuk kerja samanya seperti apa. Namun, paling tidak tawaran ini juga menunjukkan pengakuan terhadap produk negara kita,” kata Arie.

Direktur Utama PT DI Elfien Goentoro mengemukakan, PT DI juga perlu bersinergi dengan perusahaan besar dunia seperti Airbus dan Boeing. ”Kami perlu beraliansi dengan perusahaan-perusahaan penerbangan dunia, tapi di sisi lain kita juga harus fokus pada pasar, misalnya pada negara kepulauan dengan memproduksi pesawat kecil dan medium,” ujar Goentoro.
(Kompas)
 

Hopefully, our future military movies will have more creative storyline, hostage rescue missions already too outdated, even Hollywood already abandoned this kind of story a long time ago.
They already focus more on the sense of brotherhood between soldiers, like Band of Brothers, Flag of Our Fathers and the non-fiction film Restrepo. It's a bit ironic that our military movies still feel "Rambo-like"
 
Last edited:
Hopefully, our future military movies will have more creative storyline, hostage rescue missions already too outdated, even Hollywood already abandoned this kind of story a long time ago.
They already focus more on the sense of brotherhood between soldiers, like Band of Brothers, Flag of Our Fathers and the non-fiction film Restrepo. It's a bit ironic that our military movies still feel "Rambo-like"


Our movie industry is still at revival level, no kidding. There is lack of Arts institutes in Movie related disciplines, lack of talented movie proffesional in many disciplines, not to mention the lack of movie culture among our people so it cant be compared with the maturity of American audiences and their movies industries.

All in all, this movie is good to garner the attention of our common people to flock the bioskop and accumulated more experiences for our movies industries for next projects. Hope its not in vain
 
Pengembangan N245 Butuh Rp 3 Triliun

09 September 2017


Model pesawat N245 (photo : Defense Studies)

BANDUNG, KOMPAS — Setelah sukses dengan uji terbang pesawat N219, PT Dirgantara Indonesia segera mengembangkan pesawat N245. Pesawat N245 merupakan turunan dari CN235 hanya saja tanpa dilengkapi dengan fasilitas ramp door atau pintu di bagian ekor pesawat.

PT Dirgantara Indonesia memperkirakan sertifikasi pesawat N245 butuh dana 225 juta dolar AS atau sekitar Rp 3 triliun. Dalam sertifikasi itu akan dilakukan pengujian komponen vital pesawat, seperti sistem avionik, sayap, kelengkapan kokpit, dan peralatan pendaratan. Proses itu ditargetkan rampung pada 2018.

”Biaya sebesar itu untuk membuat tiga prototipe (purwarupa) hingga merampungkan proses sertifikasi,” kata Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia, Arie Wibowo di Bandung, Rabu (6/9).

Arie mengatakan, saat ini, pengembangan N245 sedang dalam tahap desain awal. Menurut dia, targetnya pada 2018 selesai proses sertifikasi dan uji terbang dua tahun kemudian. Baru pada 2022, N245 dijadwalkan masuk pasar komersial.

Arie mengemukakan, potensi pasar N245 sangat besar di dalam negeri, terutama untuk melayani rute-rute yang berjarak antara 1 jam-1,5 jam melalui penerbangan.

”Di Indonesia belum banyak dijangkau penerbangan jarak pendek, seperti Surabaya-Jember, Bandung-Cirebon, Bandung-Pangandaran, yang kalau lewat jalur darat membutuhkan waktu agak lama. Sementara pesawat N219 nanti yang akan mengisi rute-rute perintis,” ujar Arie.

Arie juga menyinggung, kompetitor N245 adalah ATR 42 buatan Peransis. ”Namun, kami tidak khawatir karena keunggulan N245 dapat mendarat di landasan pendek kurang dari 1.000 meter. Banyak bandara di Indonesia yang kondisinya seperti ini, sedangkan pesawat kompetitor tidak mampu mendarat di landasan pendek,” ucapnya.

Menurut Arie, pangsa pasar pesawat kecil dan medium ini di Indonesia relatif besar, untuk N219 sekitar 100 unit. Sementara untuk N245 antara 50-80 unit. Apabila target pasar dalam negeri itu terpenuhi, target angka tersebut bagi PT DI sudah balik modal.

Potensi pasar untuk pesawat N219 dan N245 juga bukan saja di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Secara geografis yang cocok dengan Indonesia di antaranya kawasan Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. ”Kami berharap pesawat ini disukai banyak konsumen dari sejumlah negara,” katanya.

Arie mengungkapkan, Pemerintah Turki melalui Turkish Aerospace Industries Inc (TAI) juga berminat menjajaki kerja sama dengan PT DI untuk menjual pesawat itu ke kawasan Afrika. Turki, menurut Arie, mengusulkan agar pesawat N245 juga diproduksi di negara itu. Hal ini untuk memudahkan pemasaran pesawat ke kawasan Afrika yang jaraknya lebih dekat dari Turki dibandingkan dari Indonesia. Dengan demikian akan lebih efisien.

”Tawaran Turki ini sedang dipertimbangkan, bentuk kerja samanya seperti apa. Namun, paling tidak tawaran ini juga menunjukkan pengakuan terhadap produk negara kita,” kata Arie.

Direktur Utama PT DI Elfien Goentoro mengemukakan, PT DI juga perlu bersinergi dengan perusahaan besar dunia seperti Airbus dan Boeing. ”Kami perlu beraliansi dengan perusahaan-perusahaan penerbangan dunia, tapi di sisi lain kita juga harus fokus pada pasar, misalnya pada negara kepulauan dengan memproduksi pesawat kecil dan medium,” ujar Goentoro.
(Kompas)
What a bargain price for prototype, fill like de javu when japan auto industry rise and beat all the European and US industry, it will be very big shock wave
 
http://www.atimes.com/article/china...al&utm_source=twitter.com&utm_campaign=buffer

China drags Indonesia into South China Sea morass
Beijing's rebuke of Jakarta's decision to rename its natural gas-rich Natuna Island region has agitated what had been a quiescent territorial dispute
By John McBethJakarta, September 7, 2017 12:22 PM (UTC+8)
Indonesia-China-Joko-Widodo-Xi-Jinping-April-22-2015-960x576.jpg

Indonesian President Joko Widodo (R) meets with China's President Xi Jinping (L) during a bilateral meeting on the sidelines of the Asian Africa Conference in Jakarta on April 22, 2015. Photo: AFP

What’s in a name? Quite a lot it seems, particularly when it comes to China’s expansive claims to the South China Sea, which Beijing has increasingly come to regard as its own backyard.

Six weeks after Indonesia declared its intention to rename its 200-mile exclusive economic zone (EEZ) north of the Natuna islands as the ‘North Natuna Sea’, China has demanded that Jakarta drop the new moniker, saying it isn’t conducive to the “excellent” relations between the two countries.

Delivered in a letter to the Indonesian embassy in Beijing on August 25, the Chinese Foreign Ministry protest asserted that the two countries have overlapping claims in the South China Sea and that renaming the area will not alter that fact.

China said changing what it called an “internationally-accepted name” had resulted in the “complication and expansion of the dispute” and affected peace and stability in the region.

In fact, in an action endorsed by the International Hydrographic Organization (IHO), an inter-governmental organization with United Nations observer status, Indonesia renamed the southernmost part of the South China Sea to the Natuna Sea in 1986 without any undue fuss.

Indonesia’s Maritime Ministry included the North Natuna Sea in the new national map unveiled last month. While President Joko Widodo was reportedly happy with the move, Foreign Minister Retno Marsudi is said to have had reservations.

Indonesia-Joko-Widodo-Air-Force-June-2016.jpg

Indonesian President Joko Widodo (C) in the cockpit of a Sukhoi Su-30 aircraft next to Military Chief General Gatot Nurmantyo (L) and Air Force Chief of Staff Air Marshal Agus Supriatna (R) during a military drill on the remote Natuna islands. Photo: AFP

The political and diplomatic statement of sovereignty fits with Widodo’s maritime policy, announced in the first days of his presidency, of strengthening connectivity among the country’s 17,504 islands and reasserting state authority over its archipelagic seas.

Siswo Purnama, the Foreign Ministry’s head of policy analysis, says Jakarta has taken only the first step in a long renaming process that starts with a domestic discourse and ends in possible IHO endorsement. “Indonesia,” he says, “won’t be in a hurry.”

It isn’t exactly clear what stretch of waters China says is in dispute, but Indonesian authorities have long puzzled over Beijing’s unilateral nine-dash line map of territorial sovereignty, which encompasses most of the South China Sea and appears to intrude into Indonesia’s EEZ.

Apart from questioning its legality under the UN Convention of Law of the Sea (UNCLOS), Indonesia’s diplomats in the past have failed in repeated efforts to get China to clarify the geographic limits to the tongue-shaped claim.

Ambassador Hasyim Djalal, a recognized authority on maritime law, says Indonesian never received a reply when it sent a formal note to Beijing in 1994 asking for the coordinates of its nine-dash line map. Two years later, he said, a senior Chinese official told him: “Don’t worry, that’s nothing to do with you.”

China-PLA-South-China-Sea-Woddy-Island-Paracel-Islands-January-29-2016.jpg

China’s People’s Liberation Army (PLA) Navy patrol at Woody Island in the Paracel Archipelago in the South China Sea on January 29, 2016. Photo: Reuters/Stringer

Indonesia is not a claimant to the hotly disputed Spratly Islands and, previously at least, did not recognize any sea boundary issue with China. But that changed last year when the Chinese Coast Guard seized back a fishing boat detained by Indonesia in what it said were “traditional Chinese fishing grounds.”

Not only was the Chinese trawler intercepted by a fisheries protection craft deep inside Indonesia’s EEZ, but Indonesian officials say two heavily-armed coast guard vessels penetrated the country’s 12-nautical mile territorial limit to force its return.

Traditional fishing grounds are not recognized under UNCLOS, but traditional fishing rights are and have already been the subject of successful bilateral negotiations between Indonesia and two of its neighbors: Australia and Malaysia.

“What are traditional fishing grounds and how far back do we go?”, Djalal asks, pointing to the way Japanese trawlers fished for tuna around Indonesia’s Banda islands for decades before Indonesia was formally declared an archipelagic state in 1982.

With the Widodo government launching a major crackdown on illegal foreign fishing boats in 2014, it always appeared inevitable the new president’s maritime policy would, at some point, bump up against China’s aggressive push into the South China Sea.

Chinese officials conceded in 1994 and again in 2015 that the strategic Natuna island group, lying 300 kilometers from the northwest extremity of Indonesian Borneo, belong to Indonesia.

Indonesia-China-Natuna-Islands-Fishing-June-2016.jpg

Indonesian War Ship KRI Imam Bonjol-363 (L) arresting a Chinese fishing boat (R) in Natuna waters on June 21 2016. Indonesia’s navy said that poaching by Chinese trawlers in its waters was a “ruse” to stake Beijing’s claim to fishing grounds. Photo: AFP

But the nine-dash line claim, first published in Chinese maps in 1947 and revived in 1992, and Beijing’s more recent claim to supposed ancestral fishing grounds, suggest it does not recognize Indonesia’s EEZ, which should logically follow under the Law of the Sea convention to which both countries are signatories.

Indonesian officials believe the nine-dash-line, extending at least 300-nautical miles south of China’s Hainan Island, ends somewhere before the point where Indonesia’s continental shelf intersects with that of Vietnam and Malaysia.

Protecting its fishing grounds from a country that consumes 32 million tons of fish a year is not Indonesia’s only concern. The North Natuna Sea also contains about 50 trillion cubic feet in natural gas reserves, though all but five trillion of that is in the East Natuna Block.

Known as Alpha-D when it was discovered by ExxonMobil in the early 1970s, East Natuna’s huge quantities of carbon dioxide may always make it uneconomic to develop. Indeed, Exxon recently pulled out of the consortium tasked to bring it on stream.

Indonesia’s Black Platinum Energy, which has made two promising new discoveries 100 kilometers directly to the south of East Natuna, is still some way short of the 2.5 to 3 trillion cubic feet in reserves needed to make the venture commercially viable.

Indonesia-Pertamina-Gas-January-2011.jpg

Indonesian orkers upload liquid petroleum gas canisters in a file photo. Photo: Reuters/Crack Palinggi

Three fields in the area known as West Natuna, 350 kilometers west of the Natunas, currently supply gas to Singapore and Malaysia through a well-established pipeline network, but those reserves are likely to run out in the next 10 years.

Like East Natuna the three West Natuna fields have never been the subject of a territorial dispute with China.

It is highly unlikely Indonesia or China will file a case at The Hague’s Permanent Court of Arbitration over the claims, as the Philippines did against China and won in July 2012 over ownership of strategic reefs and atolls in the Spratly Islands. Beijing rejected the decision and the authority of the court.

Indonesia is also known to be equally leery of The Hague-based court after its humiliating loss to Malaysia of the Sipadan and Ligitan islands off the eastern coast of Borneo in 2002, a decision it accepted but also brought harsh domestic criticism down on the government of the day.
 
Emergency era Aceh 2003-2005

aceh3.gif
aceh_376.jpg
1858724-3x2-940x627.jpg
armorindrapurimay2003.jpg
Itu adalah truk medium sipil yang dikonversi menjadi pengangkut personel..jpg
saracen333.jpg
19264386_303.jpg
798191_20141118074952.jpg
030603aAceh-Komnas1.jpg
indonesiaStormerAPC1.jpg
559862_10200316099536830_2106647915_n.jpg
1053484820_Cvaqy6.jpg
20781_1422124714765867_6525987021406616857_n.jpg


Hmm even during our darkest hour after Economic crisis, TNI personnel gear is not that bad compared to our neighbor in ASEAN. The deficiencies acute at the time is in fire support weapons and big ticket items, like APC, MBT, Fighter bomber, Helicopter gunship and other.
 
Back
Top Bottom