What's new

Indonesia Defence Forum

South Korea Launches 2nd Indonesian Attack Submarine

thediplomat_2016-10-24_14-54-06-386x290.jpg



South Korean defense contractor Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) launched the second out of three Type 209/1400 Chang Bogo-class (a license-built variant of the German Type 209) diesel-electric attack submarines for service in the Indonesian Navy (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut) on October 24, according to local media reports.

Around 60 people, including senior Indonesian Navy officials, attended the launch ceremony, which took place at the Okpo shipyard shipyard in Geoje Island, in the southeastern part of South Korea. The new submarine is part of a $1.1 billion contract for three diesel-electric submarines signed with Indonesia in December 2011. As I reported previously (See: “South Korea Launches First Indonesian Stealth Submarine”), the lead vessel of the program was was launched on March 24 at the DSME Okpo shipyard in South Gyeongsang on March 24.

Like its predecessor, the new Type 209/1400 Chang Bogo-class sub will undergo extensive builder and sea trials off the coast of the Korean Peninsula in the coming months. Once the trials are successfully completed, the submarine is slated to be handed over to Indonesian authorities by October 2017. (The first Chang Bogo-class sub is scheduled for delivery to the Indonesian Navy in March 2017.)

Enjoying this article? Click here to subscribe for full access. Just $5 a month.
The last submarine will be license-built by the Indonesian state-owned shipbuilder PT PAL in Surabaya, Indonesia’s second-largest city, located on the northeastern coast of Java island, under a technology transfer agreement. Work on the third and last Chang Bogo-class sub will begin December of this year. “After receiving the submarine modules from South Korea in December 2016, PT PAL is scheduled to begin assembling the third boat at the new facilities in Surabaya in January 2017 under DSME supervision,” I noted in March.

The 1,400-ton submarines have an operational range of approximately 10,000 nautical miles and are multipurpose vessels capable of conducting anti-surface warfare, anti-submarine warfare, and Special Forces missions. It is unclear whether South Korea will fit the new subs with lithium-ion batteries to boost the underwater endurance of the boats.

The new submarines will be a major boost to the Indonesian Navy’s undersea warfare capabilities, as I reported last year (See: “Will Indonesia Buy French Stealth Submarines?”):

The last time the Indonesian Navy received new submarines was in the 1980s with the delivery of two German Type 209/1300 diesel-electric attack submarines (known as Cakra-class in Indonesia), which subsequently underwent several major refits modernizing the subs’ propulsion systems, detection and navigation systems, and new fire control and combat systems by Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW) and South Korea’s Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME), which is building Type 209 variants under license.

The Indonesian government is currently working on building adequate submarine bases to house the Chang Bogo-class. There are also plans to set up a submarine base on Pulau Natuna Besar, the largest of the Natuna Islands cluster in the South China Sea.

http://thediplomat.com/2016/10/south-korea-launches-2nd-indonesian-attack-submarine/
 
. .
Looks like a seconf batch of Marder IFVs is in process.

Indo Defence 2016: Armour modernisation nears completion

25th October 2016 - 6:00 by Gordon Arthur in Hong Kong

b79220e7.jpg


A Pindad spokesman told Shephard: ‘We’re currently discussing with the army to assist a second batch in a Marder enhancement programme that will enable conversion into various types: command, ambulance and logistic versions.’

https://www.shephardmedia.com/news/...efence-2016-armour-modernisation-nears-compl/
 
. . .
Still no ciws for the sigma, what's happen?
lately no more news about blowing up illegal fishing boat, any info? may be ms. susi decide to low profile still blowing ship but with no big news coverage ? or finally those ilegal fishermen decide not to enter indonesian water


Nice, it means we have secured the demand for 105mm to reach economy of scale. The 105mm TOT is worthed (potential for Tank Boat, Pindad-FNSS Medium Tank, and possibly Future Badak).

Maybe, AMX-13 retrofit cost could be cut further since we don't have to import the gun.

IMHO: Better to replace it all with the Medium Tank, our cavalery deserves better equipments. AMX should rest and live to tell it's tales:wave:. In other case, our QR force can utilize these lightweight tanks to



Kids: [nationalism intensifies]:D

if the tni would allow them to ride on those, just imagine their smile. but if they alow it, it'll gonna be like this
HUT-TNI-2014-Ke-69-Warga-Yogyakarta-Ramai-Ramai-Naik-Tank-Leopard.jpg

this
5587901_20141010033917.jpg


free ride on the beast, majestic public transport
tni succesful to became close with people just like their "bersama rakyat TNI kuat" , slowly removing those dark history and start bright future together with people.
 
.
13872944_1330164636996995_6318592396108426690_n.jpg

13882303_1330164733663652_2861911186567055766_n.jpg

13876609_1330164823663643_1063145116749541784_n.jpg

13680592_1330164986996960_7341598866727678072_n.jpg

13659010_1330164906996968_1391927356248912892_n.jpg

13680555_1330165003663625_2561967967386757394_n.jpg


Still no ciws for the sigma, what's happen?
What happen is that ciws for PKR frigates will be procured in 2017.

lately no more news about blowing up illegal fishing boat, any info? may be ms. susi decide to low profile still blowing ship but with no big news coverage ? or finally those ilegal fishermen decide not to enter indonesian water
go to this thread for illegal fishing related info: https://defence.pk/threads/indonesia-navy-blow-up-3-illegal-vietnamese-fishing-boat.347154/page-52
 
.
PINDAD's SBS light tracked armored vehicle
sbs-pindad.jpg


PINDAD's Badak FSV
pindad-badak.jpg
 
Last edited:
.
Selasa 25 Oct 2016, 12:48 WIB
Aspam KASAU: Portugal Mitra Alternatif Kerjasama Militer
Eddi Santosa - detikNews

c7a2a301-feee-4e8d-a4ff-a7bfb0db83e3.jpg
Delegasi Indonesia pada resepsi diplomatik dan pertemuan bisnis di Lisbon/Foto: Istimewa

Lisbon - Portugal dapat menjadi mitra alternatif kerjasama militer dan pertahanan yang sudah ada, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada peralatan dan teknologi dari negara-negara tertentu.

Asisten Pengamanan (Aspam) KASAU Marsekal Muda TNI Dedi Permadi menyampaikan hal itu di sela-sela memimpin delegasi Indonesia pada resepsi diplomatik dan pertemuan bisnis di Lisbon, Selasa (25/10/2016).

"Baik sebagai sumber pengadaan alutsista, perawatannya, maupun pelatihan SDM," ujar Aspam KASAU.

Tanggapan Aspam KASAU menyusul kebijakan Angkatan Bersenjata Portugal yang untuk pertama kali memberi persetujuan penunjukan sekaligus penerimaan secara resmi Atase Pertahanan RI di Prancis dengan akreditasi non-residen negara Portugal.

Momen bersejarah ini diharapkan menjadi langkah awal untuk memulai kerjasama militer dan pertahanan yang lebih nyata antara kedua negara.

9aaba332-1b9f-41d9-9eab-3d1d2e59bd07_169.jpg
Foto: Istimewa
Delegasi Indonesia pada resepsi diplomatik dan pertemuan bisnis di Lisbon, Selasa (25/10/2016).


Menurut Aspam KASAU, salah satu keunggulan industri pertahanan Portugal adalah mereka berada di bawah kendali langsung Menteri Pertahanan.

"Sehingga jika terjadi sesuatu hal kita dapat mengajukan klaim keberatan langsung kepada pihak kementerian pertahanan Portugal," imbuh Aspam KASAU.

Sebelumnya Aspam KASAU menilai momentum Portugal memberi persetujuan penunjukan sekaligus penerimaan secara resmi Atase Pertahanan RI di Prancis dengan akreditasi non-residen negara Portugal sebagai peluang bagi angkatan bersenjata dan industri pertahanan kedua negara untuk mengembangkan kerjasama lebih komprehensif.

Aspam KASAU mengapresiasi upaya yang secara maraton terus dilakukan oleh Kantor Atase Pertahanan RI akreditasi non-residen Portugal bersama dengan Dubes RI di Lisbon.

Hal senada disampaikan Atase Angkatan Udara Kolonel Pnb Jumarto. Dalam konteks pengembangan alutsista TNI AU, terciptanya peluang kerjasama baru merupakan opsi alternatif yang dapat dijadikan pertimbangan.

"Kami terus melakukan upaya penjajakan untuk membuka peluang hubungan kerjasama industri pertahanan antar kedua belah pihak. Dengan beragam opsi alternatif akan memberikan dampak positif dalam menentukan kebijakan strategis yang efektif dan efisien," demikan Jumarto.

Berdasarkan catatan, industri dan teknologi sektor pertahanan Portugal memiliki kemampuan daya saing dan pengetahuan cukup kuat di pasar pertahanan dan keamanan.

Selain itu, perusahaan-perusahaan Portugal memiliki struktur fleksibel dan sangat inovatif dalam Riset dan Teknologi, begitu pula di bidang pengembangan proses produksi, juga unggul di bidang industri dirgantara yang berfokus pada perawatan pesawat tempur dan pesawat angkut militer seperti F16, T50, Super Tucano dan Hercules C130.

Portugal juga dikenal memiliki industri radio komunikasi untuk keperluan pertahanan. Radio komunikasi yang dibuat terdiri dari berbagai jenis untuk keperluan taktis di darat, laut, maupun udara.

Sistem radio komunikasi yang dibuat industri pertahanan Portugal ini cukup diminati oleh berbagai negara di dunia, antara lain Inggris, Jerman, Spanyol, Belanda, Turki, Brazil, Australia, Malaysia dan beberapa negara di Afrika.

http://news.detik.com/berita/d-3328...l-mitra-alternatif-kerjasama-militer?single=1
 
. . .
Poros Dirgantara dan Industri Pertahanan
Koran SINDO

Selasa, 25 Oktober 2016 − 09:45 WIB
poros-dirgantara-dan-industri-pertahanan-F7Y.jpg

Pesawat tempur Sukhoi milik TNI AU dari Skadron Udara 11 Lanud Sultan Hasanuddin tengah melakukan latihan. Kebijakan PMD berimplikasi pada TNI AU yang harus memanggul tugas yang semakin kompleks dan berat. Foto/Dok. SINDOphoto
A+ A-
Dr Connie Rahakundini Bakrie
Dewan Penasihat National Air Power Centre Indonesia, President Indonesia Institute for Maritime Studies

Fokus pertahanan Indonesia yang sangat "inward looking" bergeser secara dramatik di tahun 2014 lalu saat bangsa ini melahirkan Presiden terpilih Joko Widodo yang secara lantang mencanangkan paradigma Indonesia baru sebagai negara ”Poros Maritim Dunia” (PMD). Sesungguhnya, visi PMD menjadikan Indonesia sekaligus menjadi negara poros dirgantara dunia.

Oleh sebab itu, kebijakan PMD berimplikasi tidak saja terhadap TNI AL, tetapi juga pada TNI AU yang harus memanggul tugas yang semakin kompleks dan berat. Utamanya, terkait masalah angkutan dalam pergerakan pasukan serta logistik mengingat politik global abad ke-21 menjadikan Asia sebagai pivot point, di mana perairan dan ruang udara Indonesia menjadi poros akan jalur utama perdagangan, sumber daya sekaligus pergerakan militer dunia.

Visi PMD dapat terbangun konkret jika diikuti kebijakan negara untuk membangun kekuatannya berbasis quadraplehelix, yaitu terwujudnya kolaborasi antara akademisi, pebisnis, pemerintah, dan militernya. Militer menjadi elemen krusial dan penting untuk diutamakan karena hanya dengan faktor militer dalam membangun sistem pertahanan negara yang tepatlah yang dapat menjadi pendorong utama terwujudnya teknologi dan industri pertahanan (indhan).

Mengapa? Karena sistem pertahanan negara yang tepat guna dan sasaran akan menuntut: Pertama, prinsip terciptanya profesionalitas yang mencakup fungsi, postur dan gelar TNI.

Kedua, prinsip bahwa implementasi pertahanan negara yang menjadi tugas TNI harus mengacu pada alutsista yang dapat—dikendalikan, dilakukan serta ditujukan—untuk menciptakan perdamaian. Ketiga, prinsip transparansi dan pertanggungjawaban dalam perumusan dan implementasi strategi pertahanan.

Peran pelibatan TNI AU dalam konsep negara PMD setidaknya harus mampu menjalankan fungsi air cover dan terbangunnya air defence system dengan faktor ukuran kesiapan (readiness) mencakup kemampuan teknis, taktik, alat deteksi serta modernisasi persenjataan pesawat udara, termasuk pada tingkat pengadaan, pemeliharaan, perbaikan serta platform yang diperlukan.

Target pencapaian kapabilitas serta readiness pada dasarnya terhubung erat pada implementasi roadmap kemandirian industri pertahanan sebagaimana diamanatkan UU No 16/2012 bahwa Indonesia akan mengambil jalan kemandirian untuk membangun industri pertahanan di mana negara akan memegang kendali dalam menentukan pembuatan, perawatan, penggunaan, serta pengadaan alutsistanya.

Indhan Alutsista Udara
Terkait di atas, maka selayaknya indhan alutsista udara menjadi pendukung kebutuhan TNI AU dalam menunjang kegiatan operasi militer baik perang maupun nonperang. Makna pendukung membawa implikasi bahwa indhan kedirgantaraan harus dapat menyesuaikan kebutuhan alutsista yang diinginkan oleh pengguna berdasarkan kebutuhan dan sesuai dengan kebutuhan alutsistanya.

Karena itu, terdapat beberapa kendala dan habit yang tidak dapat dibiarkan terus terjadi seperti saat di 2004 TNI AU telah melakukan kajian akan kebutuhan pesawat fix wing baling-baling yang kemampuannya sekelas C130 Hercules dan pilihannya jatuh pada pesawat Spartan C27 J, namun saat itu TNI AU dipaksa untuk membeli pesawat CN295 yang dibeli oleh PT DI, tetapi digembar-gemborkan sebagai produksi anak bangsa. Kemudian masalah wanprestasi PT. DI atas kontraknya dengan TNI AU sejak 1996 untuk menyuplai 16 pesawat Super Puma, di mana hingga pada 2016 ini PT DI baru mampu menyerahkan tujuh unit.

Haruslah dipertanyakan penolakan keras PT DI baru-baru ini akan rencana pengadaan Helikopter Augusta AW-101 sebagai helikopter angkut militer yang telah dikaji mendalam oleh TNI AU, di mana sikap bersikukuh PT DI untuk memaksa TNI AU membeli helikopter Puma dan Super Puma keluaran Eurocopter (Prancis) dengan menahbiskan serangkaian kecelakaan hingga mengakibatkan otoritas penerbangan Eropa (EASA) mengeluarkan perintah pelarangan terbang terhadap semua helikopter tersebut.

Padahal, sangat jelas fakta beruntun yang dialami Super Puma antara lain pada April 2016 saat H225 Super Puma LN-OJF milik CHC Helicopter Service yang mengangkut pekerja minyak lepas pantai dari rig Gullfaks di Laut Utara mengalami kecelakaan fatal pada bilah rotor utama, sehingga menewaskan seluruh penumpang termasuk pilot dan kopilot.

Insiden ini menambah daftar maut untuk tipe H225 dan AS332L2 (varian Super Puma), karena sebelumnya Mei 2012 EC225LP G-REDW mendarat darurat di laut karena kerusakan pada sistem pelumas gearbox utama dan keretakan di batang rotor, disusul pada Oktober 2012, H-225 G-GHCN milik perusahaan CHC Scotia juga mendarat darurat dikarenakan pompa sistem pelumas tidak bekerja.

Patut dicatat sebelum 2012, kecelakaan Super Puma juga terjadi di Brunei 1982, Norwegia 2001, Inggris 2011, serta Hong Kong 2013 di mana karenanya jenis helikopter ini mengalami suspended dengan durasi 19, 50, 33, dan 28 bulan.

Puncaknya adalah respons atas kecelakaan fatal pada April 2016 lalu, di mana Norwegian Civil Aviation Authority (NCAA) dan British Civil Aviation Authority (BCAA) mengeluarkan larangan terbang pada varian H225, menyusul larangan yang sama pada 2012. Hal ini mendorong beberapa negara termasuk militer Thailand dan Malaysia mewajibkan untuk meng-grounded semua heli militer Super Puma jenis EC275 Cougar yang dimiliki kedua negara tersebut. Karenanya tepatlah jika sekarang TNI AU me-milih alternatif selain dari Helikopter Puma, Super Puma dan EC275 Cougar.

Pada era Menhan Purnomo Yusgiantoro jelas dinyatakan PT DI harus dapat melakukan diversifikasi teknologi, sehingga industri pertahanan tumbuh tidak selamanya bergantung kepada pemerintah, dapat lebih mandiri bersama swasta dalam mendukung kekuatan TNI serta mampu mendorong pembangunan perawatan pesawat.

Terjadinya diversifikasi dengan melirik Helikopter Agusta Westland 101 (AW-101) sebagai alternatif adalah penting mengingat peran serta tugas utama PT DI sebagai BUMN yang seharusnya berfungsi sebagai driving force utama pembangunan kekuatan indhan kedirgantaraan, bukannya terus melanjutkan monopoli bersama produsen yang mengalami kegagaalan serta di-banned beberapa otoritas penerbangan negara.

KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna menekankan bahwa pengadaan AW-101 seharusnya tidak kental dengan aroma politisasi dengan mendesak TNI AU untuk membeli helikopter EC275 Cougar. Menurut KASAU berdasarkan kebutuhan dan pandangan TNI AU sebagai user yang mengkaji kebutuhan angkut dan operasional,spec-tech dan modernisasi yang dibutuhkan maka jelas performa dan spesifikasi teknologi AW-101 lebih menunjang kebutuhan TNI AU saat ini dan ke depan dibanding EC275 Cougar.

Selain mempertimbangkan beberapa insiden pada H225, KSAU juga menyangsikan kualitas helikopter buatan PT DI yang jelas menurutnya telah melakukan wanprestasi dalam pengadaan alutsista TNI AU. Rupanya, kedekatan PT DI dengan monopoli Airbus selama 30 tahun membuat PT DI lebih memilih bermanuver politik ketimbang mengejar modernisasi teknologi, kemampuan dan kemandirian dalam perannya sebagai BUMN penggerak indhan kedirgantaraan.

Industri Perakitan Atau Industri Pertahanan?
Dalam konteks indhan, diversifikasi menjadi kata kunci yang sangat relevan terkait prinsip bahwa negara yang kuat adalah apabila memiliki industri pertahanan yang kuat. Sebenarnya, dengan kasus di atas sudah waktunya PT DI disorot lebih dekat kinerjanya, karena industri penerbangan yang sehat sebenarnya harus mampu memproduksi pesawat udara dengan segala alat peralatan cadangnya, karenanya faktor pengkajian, penelitian, transfer of technology (TOT) serta sistem dan organisasi menjadi faktor terpenting.

Dari data yang diperoleh, terbukti bahwa apa yang diklaim PT DI tidak selamanya benar sehingga transparansi dalam pencapaian teknologi terkait indhan kedirgantaraan menjadi sangat krusial untuk dipertanyakan. Misalnya, EC725 terbukti seluruhnya ternyata masih dibuat di Prancis hingga tahapan tes terbang dan baru kemudian dikirimkan ke Indonesia dalam bentuk potongan yang kemudian dirakit kembali oleh PT DI dalam waktu tujuh hari, termasuk memasang forward looking infrared camera sertawindow gun saja.

KSAU menyatakan dengan tegas sebagai komisaris PT DI, kemampuan, kinerja, dan kondisi nyata PT DI sangat dipahaminya termasuk kasus teranyar terkait N219 yang baru-baru ini digembar-gemborkan telah melewati tahapan roll-out ternyata masih berupa mock-up. Selain masalah "transparansi teknologi" maka yang harus dipertanyakan adalah pertanggungjawaban PT DI dalam penggunaan anggaran R&D yang besar untuk pesawat tersebut.

Karena itu, sangat dipahami jika TNI AU kemudian memutuskan untuk tidak hanya menaruhkan kebergantungan pengadaan dan operasional helikopternya hanya pada satu varian saja, dan mengikuti jejak BASARNAS (BNPP) yang sebelumnya hanya mengoperasionalkan Dauphin AS365 N3+ Eurocopter, saat ini tercatat memilih Helikopter AW-139 yang memiliki kemampuan daya angkut dan jelajah di atas Dauphin.

Keberanian serta sikap tegas KSAU dalam memilih AW-101 kiranya menjadi sesuatu yang harus dihargai dalam konteks pembangunan kekuatan indhan yang jujur dan bertanggung jawab berbasis quadraplehelix, terutama mengingat TNI sebagai pengguna utama alutsista adalah elemen terpenting negara dalam rangka mewujudkan kesiapan alutsista pertahanan bagi negara PMD sekaligus poros dirgantara dunia yang kita cintai ini.



(poe)
http://nasional.sindonews.com/read/1149934/18/poros-dirgantara-dan-industri-pertahanan-1477363526/20
 
.

What variant is these Unimogs? Never seen one before. Mobile radar for Mistrals?

PINDAD's SBS light tracked armored vehicle
View attachment 346265

Sadly, I saw a pict in Formil several times ago this SBS was parked and neglected in the far corner of Pindad's warehouse. They don't seem to have anymore plan to research further or try to develop this tank so it could be adopted by TNI...
Pindad is too busy producing the more promising Badak, Anoa, Komodo and looking forward for the Medium Tank so this SBS fate seems to meet a dead end... or is it?
 
.
What variant is these Unimogs? Never seen one before. Mobile radar for Mistrals?

yes, that's called Mistral Coordination Post

Sadly, I saw a pict in Formil several times ago this SBS was parked and neglected in the far corner of Pindad's warehouse.

This one?
https://defence.pk/threads/indonesia-military-news-discussion-thread.229571/page-839#post-8837746

Pindad is too busy producing the more promising Badak, Anoa, Komodo and looking forward for the Medium Tank so this SBS fate seems to meet a dead end... or is it?
SBS development is quite promising but need much further improvement just like Anoa amphibious. Pindad would need to recalibrate and redesign the concept several times before our armed forces would even consider to operate them. TOT from medium tank project would also help Pindad with their SBS project in the future.
 
Last edited:
.
SAAB is Preparing a Surprise in Ground Based Air Defence

Source:
indomiliter*com/indo-defence-2016-saab-siap-beri-kejutan-untuk-ground-based-air-defence/

It is said they'll reveal it during Indodefence in November. It is not RBS-70 since we've already got the deal package for modernization and join development.
The only air defence solution left for SAAB to offer is just.... Bamse?:agree:
 
.
Back
Top Bottom